tag:blogger.com,1999:blog-24466350439732812422024-02-07T11:15:06.170-08:00RAJA RAJA MAJAPAHITUntuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-70682065662809115542009-07-15T19:13:00.001-07:002009-07-21T17:09:08.755-07:00GIRINDRAWARDHANA<strong><span style="color:#000099;">GIRINDRAWARDHANA/ BRAWIJAYA VI (1478-1498)<br /></span></strong><br /><br /><div align="justify">Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1486-1527. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Suprabhawa alias Singhawikramawardhana, raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474. Hubungan antara Ranawijaya dan Suprabhawa ini diperkuat dengan adanya unsur kata Girindra dan Giripati dalam gelar abhiseka masing-masing. Kedua kata tersebut memiliki arti sama, yaitu raja gunung. </div><div align="justify"><br />Silsilah Ranawijaya juga terdapat dalam prasasti Jiyu (1486) tentang pengesahan anugerah Suprabhawa kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara berupa tanah Trailokyapuri. Pengesahan ini dilakukan bersamaan dengan upacara Sraddha memperingati 12 tahun meninggalnya Suprabhawa. Dalam prasasti itu Ranawijaya bergelar Sri Wilwatikta Janggala Kadiri, artinya penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Prasasti Jiyu juga menyebut adanya nama Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma saudara Ranawijaya.<br /><a name="Identifikasi_Ranawijaya_dengan_Brawijaya"></a><br />Dalam tahun 1468 Suprabhawa alias Singhawikramawardhana terdesak oleh Kertabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri </div><div align="justify"><br />Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabumi. putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabumi. melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu. Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabumi. adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478. </div><div align="justify"><br />Brawijaya adalah nama raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah, misalnya prasasti. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga raja terakhir Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit , dan kemudian dikalahkan Demak tahun 1527. </div><div align="justify"><br />Ingatan masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir tahun 1478. Akibatnya pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, raja Majapahit tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebut Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya. </div><div align="justify"><br />Lebih lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat dalam Bhre Kertabhumi dan Kertawijaya.<br /><a name="Pengangkatan_Ranawijaya_menurut_Kronik_C"></a><a name="Hubungan_Ranawijaya_dengan_Bhre_Kertabhu"></a><br /><strong></strong></div><div align="justify"><strong>Hubungan Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi<br /></div></strong><div align="justify">Menurut kronik Cina , Ranawijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai raja bawahan Demak. Pendapat lain mengatakan, Ranawijaya menjadi raja Majapahit atas usahanya sendiri, yaitu dengan cara mengalahkan Bhre Kertabhumi tahun 1478, demi membalas kekalahan ayahnya, yaitu Suprabhawa. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Petak yang menyebutkan kalau keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit .<a name="Perang_antara_Majapahit_dan_Demak"></a></div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-34560700083550272152009-07-15T19:12:00.000-07:002009-07-21T17:07:18.509-07:00KERTABUMI<strong><span style="color:#000099;">KERTABUMI/ BRAWIJAYA V (1468-1478)<br /></span></strong><br /><br /><div align="justify">Prabu Brawijaya atau Brawijaya V adalah raja terakhir Majapahit versi naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Ia sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit putra Prabu Bratanjung. Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu naik takht<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfUc1uoa0Na5760qVtNSQYRTspIVZGVerwqsBPjclOBtnmb-bkEp8RaWzYFZng6wGDt9DmKB7I_4dEMG6Wr6m2b45pep8ruCLxjyCPXl8hSSYi3eedbf5F_dVv6GYdM4Yg4eyvuPeLxfLd/s1600-h/makam+kertabumi.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5361068109847642658" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 195px; CURSOR: hand; HEIGHT: 199px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfUc1uoa0Na5760qVtNSQYRTspIVZGVerwqsBPjclOBtnmb-bkEp8RaWzYFZng6wGDt9DmKB7I_4dEMG6Wr6m2b45pep8ruCLxjyCPXl8hSSYi3eedbf5F_dVv6GYdM4Yg4eyvuPeLxfLd/s320/makam+kertabumi.jpg" border="0" /></a>a ketika putranya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai turun takhta karena dikalahkan putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak angkat Arya Damar.<br /><br /><em><span style="font-size:85%;color:#990000;">Makam Brawijaya V dan Putri Campa</span></em></div><div align="justify"><em><span style="font-size:85%;"></span></em> </div><div align="justify">Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Dari mereka, antara lain, lahir, Raden Patah bupati Demak, Batara Kalong bupati Ponorogo, dan Bondan Kejawan leluhur raja-raja Mataram Islam Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang naik takhta Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan. Pemerintahan Brawijaya atau Brawijaya V berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Demak bergelar Panembahan Jimbun.<br /></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Asal Usul Nama Brawijaya<br /></div></strong><div align="justify">Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam Pararaton ataupun prasasti-prasasti. Untuk itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang babad dan serat memperoleh nama ini. Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang berarti baginda. Sedangkan gelar bhre berasal dari kata bhra i, yang berarti baginda di. Jadi, Brawijaya bisa juga disebut Bhatara Wijaya.<br /><br />Menurut catatan Tome Pires dalam Suma Oriental, pada tahun 1513 di Jawa ada raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota negaranya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah Pate Udara. Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Udra adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Hudara. Tokoh Bhatara Wijaya ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu (1486), di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit. </div><div align="justify"><br />Dapat diperkirakan bahwa, tokoh Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa sebagai Brawijaya raja terakhir Majapahit . Hal itu dikarenakan setelah ia kalah oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527, Kerajaan Majapahit pun ikut berakhir. Meskipun demikian, Majapahit dalam ingatan masyarakat Jawa bukan yang berpusat di Daha (berakhir 1527), tetapi yang berpusat di Mojokerto (berakhir 1478). Maka, tokoh Brawijaya dalam babad dan serat pun ditempatkan sebagai raja terakhir yang memerintah sampai tahun 1478. Sedangkan Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya sendiri baru naik takhta pada tahun 1486 menurut prasasti Jiyu.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Bhre Kertabhumi dalam Pararaton<br /></div></strong><div align="justify">Pararaton hanya menceritakan sejarah Majapahit yang berakhir tahun 1478 Masehi (1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis: </div><div align="justify"><br />Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400. </div><div align="justify"><br />Kalimat penutupan Pararaton tersebut berkesan ambigu. Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya. Teori yang menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi) cukup populer, karena namanya ditemukan dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Kung-ta-bu-mi raja Majapahit yang kalah tahun 1478. Sedangkan dalam Serat Kanda juga disebutkan bahwa, Brawijaya dikalahkan Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, yang artinya 1400 Saka.<br /><br /></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Bhre Kertabhumi dalam Kronik Cina<br /></div></strong><div align="justify">Naskah yang ditemukan dalam Kuil Sam Po Kong di Semaeang mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang. Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi, memiliki putra bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo. </div><div align="justify"><br />Kung-ta-bu-mi adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Raden Patah alias Panembahan Jimbun dari Demak Bintara. Swan Liong adalah Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berart i Hyang Wisesa alias Wikramawardana atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja Majapahit. Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari selir Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal dari pada uraian versi babad dan serat. </div><div align="justify"><br />Selanjutnya dikisahkan, sepeninggal Kung-ta-bu-mi, Majapahit menjadi bawahan Demak yang diperintah oleh Nyoo Lay Wa (seorang Cina muslim) sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun lalu mengangkat Pa-bu-ta-la (menantu Kung-ta-bu-mi) sebagai bupati baru. Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu (1486). Jadi, menurut Berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut Kronik Cina.</div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-80887095892624485082009-07-15T19:11:00.002-07:002009-07-21T17:00:48.280-07:00SUPRABHAWA<strong><span style="color:#000099;">SURAPRABHAWA / BRAWIJAYA IV(1466-1468)<br /></span></strong><br /><br /><div align="justify">Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466 berKaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun.<a name="Bhre_Pandansalas_dalam_Pararaton"></a> </div><div align="justify"><br />Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447). Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan. Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardana.<br /></div><div align="justify">Suraprabhawa menduduki tahta Majapahit membuat keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara (Rajasawardhana) memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya, Bhre Mataram(V) Wijayakarana, Bhre Pamotan(II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya.<br /></div><div align="justify">Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan).Diberitakan dalam Pararaton , setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabumi.<br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Akhir Pemerintahan Suraprabhawa<br /></strong></div><div align="justify">Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.<br /></div><div align="justify">Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat <em><span style="color:#000099;">kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).<br /></span></em></div><div align="justify">Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabumi.Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh Girisawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474. Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat yang berbau surga, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya. </div><div align="justify"><br />Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan <em><span style="color:#000099;">kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”). Ungkapan ayun-ayunan (‘naik-jatuh’) kiranya berarti meraih kemenangan tetapi gugur dalam pertempuran (won the war but lost the battle).</span></em></div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-32704099367401910322009-07-15T19:11:00.001-07:002009-07-21T16:58:35.182-07:00GIRISHAWARDHANA<strong><span style="color:#000099;">GIRISHAWARDHANA /BRAWIJAYA III (1456-1466)<br /><br /></span></strong><br /><div align="justify">Girishawardhana Dyah Suryawikrama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1456-1466. Ia dianggap identik dengan Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton.<a name="Bhra_Hyang_Purwawisesa_dalam_Pararaton"></a> Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.<br /><br /><br /><strong>Akhir Pemerintahan Girishawardhana<br /></strong></div><div align="justify">Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya.<a name="Girisawardhana_Dyah_Suryawikrama"></a> Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti Sendang Sedur tahun 1463. Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya. Jika Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka, kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung Wijayakumara. </div><div align="justify"><br />Prasasti Waringin Pitu juga menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456 persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.</div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-71266665929371484992009-07-15T19:10:00.000-07:002009-07-21T16:57:09.778-07:00RAJASAWARDANA<strong><span style="color:#000099;">RAJASAWARDHANA/ BRAWIJAYA II (1451-1453)<br /></span></strong><br /><br />Rajasawardhana naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya.,sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap kakaknya tersebut.<br /><div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBJ_5wbnU9o7ePEBqT5bIoJDUZtG-WlxQDoMLc3-yHci8oaX8GwfjObQB9cURnK7dNg3p9sH5KVuQgs18cNJsjdaw6uD1nQk0bOGzX7p_LZMckYhfJ4F1vXpaIh3uQ8t73FwO0Yj1S-LEc/s1600-h/arca.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5361066151856197906" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 209px; CURSOR: hand; HEIGHT: 154px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBJ_5wbnU9o7ePEBqT5bIoJDUZtG-WlxQDoMLc3-yHci8oaX8GwfjObQB9cURnK7dNg3p9sH5KVuQgs18cNJsjdaw6uD1nQk0bOGzX7p_LZMckYhfJ4F1vXpaIh3uQ8t73FwO0Yj1S-LEc/s320/arca.jpg" border="0" /></a>Pendapat di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardana. Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447). Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana. </div><div align="justify"></div><div align="justify"><em><span style="font-size:85%;color:#990000;"></span></em> </div><div align="justify"><em><span style="font-size:85%;color:#990000;">Arca Peninggalan Majapahit<br /></div></span></em><div align="justify">Sementara itu, Rajasawardhana (Sang Sinagara) dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabumi. belum lahir. Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita cina. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.<br /><br />Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu. Ketika Rajasawardhana mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan(VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker(III) Girisawardhana. </div><div align="justify"><br />Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja (telung tahun tan hana prabhu, kata Pararaton). Kevakuman tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha(V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut. </div><div align="justify"><br /></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Akhir Pemerintahan Kertawijaya<br /></div></strong><div align="justify">Bhre Daha(V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha(VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.<br /></div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-21637244100823272092009-07-15T19:09:00.002-07:002009-07-21T16:50:47.286-07:00KERTAWIJAYA/ BRAWIJAYA I<strong><span style="color:#000099;">KERTAWIJAYA / BRAWIJAYA I (1447-1451)<br /></span><br /></strong><br /><div align="justify">Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana.<a name="Kertawijaya_dalam_Pararaton"></a> Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardana dari selir dan merupakan adik tiri dari Suhita Ratu Majapahit Ke VI. Putra Wikramawardana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn5CHrnJlvup5WxIpQHl8j72_RhNr43JaHHalJVWhdfkvKjF2vq7HkfQqFtGNlZrJqtIx4xFNXe71-IxlZ-PEtuaraKJ99v98M2uO6zk6Hca86cTcQuSSvj699uQ8Jit_nG3UO2_NkTBM0/s1600-h/patung+emas.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5361064386506102466" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 124px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn5CHrnJlvup5WxIpQHl8j72_RhNr43JaHHalJVWhdfkvKjF2vq7HkfQqFtGNlZrJqtIx4xFNXe71-IxlZ-PEtuaraKJ99v98M2uO6zk6Hca86cTcQuSSvj699uQ8Jit_nG3UO2_NkTBM0/s320/patung+emas.jpg" border="0" /></a>Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.<br /><br /><strong></strong></div><div align="justify"><strong>Masa Pemerintahan Kertawijaya<br /></div></strong><div align="justify">Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel. Dalam Prasasti Waringin Pitu disebutkan bahwa Kertawijaya bersifat Dewa Wisnu, memiliki jiwa yang tinggi dalam pemujaan terhadap para Dewa dan diibaratkan matahari (mentari), menyilaukan mata, bersumarak bersih nirmala yang disebabkan kemegahan beliau karena pada tubuh sang raja mengeluarkan cahaya (aurora). Sudah barang tentu sang raja memiliki ilmu supranatural yang sangat tinggi. </div><div align="justify"><br /><em><span style="font-size:85%;color:#660000;">Patung Emas Peninggalan Majapahit</span></em></div><div align="justify">Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Dyah Krtanegara ini bernama Raden Hardiwijaya, putra Prabu Murdaningkung. Raden Hardiwijaya ini naik tahta dengan sebutan Prabu Brawijaya I, dengan patihnya Panular II (Adipati Patih Demang Panular II-Pangeran Demang). Kehidupan Prabu Brawijaya I ini penuh kemewahan dan kebahagiaan. Bahkan dalam Prasasti Widjaya-parakrama-wardana, sebagaimana ditulis oleh Prof HM Yamin dalam bukunya Negarakrtagama Sapta-parwa, menguraikan: </div><div align="justify"><br />Dipertuan segala machluk yang menguasai seluruh dunia dan tak ubahnya sperti yang tertua dari segala Dewa, nan mengatasi puncak bangunan segala raja-raja musuh, sehingga tak ubahnya seperti Wisnu yang mengirimkan tentaranya menuju segala penjuru alam, nan berjiwa pemujaan segala pujian seluruh buana, yang menjadi daerah kekaguman tentang sekalian ilmu pengetahuannya, nan berwajah kembang tunjung utama, yang berseri-seri karena kelimpahan pujian dan kemegahan gilang gemilang, yang dihinggapi serangga tabuhan berbondongan, yaitu, seri mahkota sekalian raja-raja yang lain, nan berpelayan orang-orang utama diantara para musuh dikalahkan dan yang bergirang hati sehingga mengganti upah mereka dengan kegembiraan, seperti berlaku dengan para pelayan yang lain, nan bertubuh menjadi pujian segala orang yang mencari perlindungan padanya, karena gelisah dan berpecah-belah, nan bersifat lemah lembut seperti aliran batang air Gangga yang memiliki pengetahuan dan kemurahan, nan bersemangat dapat dibandingkan dengan suatu bangunan gedung dan yang berkatetapan sebagai kaki raja di gunung (Adri-sja yaitu Himalaya), raja yang mahaluhur dan mahatunggal, serta terpuji sebesar-besar diatas dunia jagad, nan menyedarkan muka segala manusia yang baik-baik, seperti Dang Rembulan mengembang bunga tunjung, nan menghilang gelap gulita pada watak manusia, seolah-olah berlaku sebagai sang mentari, nan mengarahkan wajah-muka kepada kebajikan yang mendekatinya, tetapi yang memalingkan muka dari segala keburukan, nan mengembara di atas bumi menyilaukan mata karena bersumarak bersih-nirmala disebabkan kemegahan beliau, yang bertegak gelar kerajaan berbunyi Wijaya-parakrama-wardana dan bernama kecil Dyah Krtawijaya. </div><div align="justify"><br />Sedemikian rupa pujian serta penggambaran tentang figur maharaja terhadap sang Prabu Brawijaya I dalam prasati Wijaya-parakrama-wardana yang berasal dari Desa Surodakan (Trenggalek) bertarikh tahun saka 1369 = Masehi 1447. </div><div align="justify"><br />Dalam prasati tersebut juga dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh sang Prabu Brawijaya I menganut sistem pembagian kekuasaan (Distribution of Power) dan diatur melalui perintah Sri Paduka Maharaja. Sebagai contoh di bidang sengketa hukum, kewenangannya diberikan kepada Hakim Dharma Upapati. Pekerjan mereka memutuskan sengketa-sengketa hukum dan berbagai perselisihan. </div><div align="justify"><br />Adapun perintah Seri Paduka Maharaja dalam hal ini menyebutkan: 1. Pamegat Kandangan Tua: Dang Acarca Naradaya, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik agama Budha, 2. Pamegat Manghuri: Dan Acarca Taranata, yang putus pengajiannya dalam ilmu Waisjsika, 3. Pamegat Pamotan: Dang Arcaca Arkanata, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik dan bahasa, 4. Pamegat Kandangan Muda: Dang Arcaca Djina-indra, yang putus pengajiannya dalam ilmu mantik dan agama Budha. </div><div align="justify"><br />Banyak tindakan-tindakan strategis yang diambil Paduka Raja Brawijaya I selama dalam menjalankan pemeritahan kerajaan, baik dalam menindak lanjuti konsep-konsep pemerintahan sebelumnya maupun kebijakan-kebijakan barunya. Tercatat tindakan populernya adalah pembentukan daerah-daerah perdikan (swasembada) yang masih bisa kita lihat sampai tahun 1979, karena setelah tahun tersebut tanah- tanah perdikan maupun tanah-tanah adat lainnya telah terhapus dengan UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemeritahan desa, yang mengatur tentang nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa. </div><div align="justify"><br />Hubungan antara Rajasawarhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawarhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawarhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara. </div><div align="justify"><br /> </div><div align="justify"><strong>Akhir Pemerintahan Kertawijaya<br /></strong></div><div align="justify">Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawarhana. Penyebutan Dyah Krtawijaya sebagai Brawijaya I tersebut karena raja ini memiliki nama yang berunsur Wijaya (keturunan Raden Wijaya) dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, sehingga dikagumi rakyatnya.<br /></div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-23645247510017823872009-07-15T19:09:00.001-07:002009-07-21T16:45:32.508-07:00SUHITA<div align="justify"><strong><span style="color:#000099;">SUHITA /Stri Suhita ( 1429–1447 )<br /></span></strong><br /><br />Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita, dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-undak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-lain. </div><div align="justify"><br />Prabu Stri Suhita adalah raja wanita kedua di Majapahit setelah Tribhuwana Tunggadewi. , Prabu Stri Suhita memerintah bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja. Menurut Pararaton , nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.<br /></div><div align="justify">Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu Thribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Thribhuwana Tunggadewi dan Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja. </div><div align="justify"><br />Ratnapangkaja memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan cucu, yaitu Wikramawardana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker. Bhre Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardana Pararaton tidak menyebut secara jelas nama ibu Suhita. Silsilah Suhita muncul sebelum pemberitaan Perang Paregreg. </div><div align="justify"><br />Hal ini dengan Ratnapangkaja sebelum perang terjadi. Menurut Pararaton, Ratnapangkaja bingung harus berpihak pada siapa ketika perang meletus. Apabila ia sudah menikahi Suhita tentu ia akan langsung memihak Wikramawardana , mengingat Pararaton tidak secara tegas menyebutkan kalau ibu Suhita adalah putri Bhre Wirabumi. Penulis Pararaton memang sering mengabaikan urutan peristiwa secara kronologis. Misalnya, pemberontakan Ranggalawe disebut terjadi tahun 1295, tapi baru diberitakan setelah Jayanagara naik takhta (1309). Seputar pemberitaan Bhre Wirabumi dijumpai adanya tiga tokoh yang menjabat Bhre Daha. Yang pertama adalah ibu angkat Bhre Wirabumi yang wafat sebelum perang meletus. Bhre Daha yang kedua adalah yang diboyong Wikramawardana setelah Perang Paregreg dan meninggal sebelum peristiwa bencana kelaparan terjadi tahun 1426. Sedangkan Bhre Daha yang ketiga naik takhta menggantikan Wikramawardana dan menghukum mati Raden Gajah (pembunuh Bhre Wirabumi).<br /><br />Bhre Daha yang pertama dipastikan adalah Rajadewi putri bungsu Raden Wijaya. Menurut Nagarakretagama , Bhre Wirabumi dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putri yang menjabat Bhre Daha sepeninggal Rajadewi. Bhre Daha yang kedua inilah yang diboyong Wikramawardana sebagai selir setelah kekalahan Bhre Wirabumi tahun 1406. Dari perkawinan tersebut, lahir Suhita sebagai Bhre Daha menggantikan ibunya yang wafat menjelang bencana kelaparan 1426. Sepeninggal Wikramawardana , Bhre Daha alias Suhita naik takhta tahun 1427. Usianya saat itu dapat diperkirakan sekitar 20 tahun.<br /><a name="Pemerintahan_Suhita"></a>Masa Pemerintahan Suhita </div><div align="justify"><br />Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton . </div><div align="justify"><br />Nama Suhita juga muncul dalam Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.<br />Akhir Pemerintahan Suhita </div><div align="justify"><br />Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya. Karena tidak memiliki putra Mahkota, Suhita digantikan adik tirinya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.</div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-36472416891921218872009-07-15T19:08:00.002-07:002009-07-21T01:55:03.774-07:00WIKRAMAWARDHANA<div align="justify"><strong><span style="color:#000099;">WIKRAMAWARDHANA / Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama (1389-1429)<br /></span></strong><br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja menggantikan Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389 bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk . Wikramawarddhana merupakan menantu yang sekaligus merupakan keponakan Hayam Wuruk.. Wikramawardhana menjadi raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhani putri Hayam Wuruk. </div><div align="justify"><br />Wikramawardhana dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana. </div><div align="justify"><br />Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil. </div><div align="justify"><br />Dari perkawinan itu, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja. Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya. </div><div align="justify"><br />Bhre Tumapel lahir dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja. Kedudukan sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha putri Bhre Wirabumi<a name="Awal_Pemerintahan_Wikramawardhana_dan_Ku"></a> </div><div align="justify"><br /></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Pemerintahan Wikramawardhana dan Kusumawardhani</strong><br /></div><div align="justify">Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata. </div><div align="justify"><br />Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya sendiri sebagai selir. </div><div align="justify"><br />Rajasakusuma sang Putra Mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalam Pararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”, bukan “melantik”. </div><div align="justify"><br />Rajasakusuma meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung. Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan Bhre Mataram. Pada tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai Pendeta. Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit. </div><div align="justify"><br />Peninggalan sejarah Wikramawardhana berupa prasasti Katiden (1395), yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan suci. Wikramadardhana memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre WirabhÅ«mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg.<br /><br /></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Peristiwa Penting Pada Masa Pemerintahan Wikramawarhana </strong></div><div align="justify"><br />Menurut Pararaton , Wikramawardhana kembali menjadi raja, karena Kusumawardhani meninggal dunia. Kusumawardhani dicandikan di Pabangan, bernama Laksmipura. Pada tahun 1401 Wikramawardhana berselisih dengan Bhre Wirabumi, saudara tiri Kusumawardhani.<br />Perselisihan antara penguasa Majapahit Barat dan Majapahit Timur itu memuncak menjadi perang saudara tahun 1404, yang disebut Perang Paregreg. Pada tahun 1406 pasukan istana barat dipimpin Bhre Tumapel menghancurkan istana timur. Bhre Wirabumi tewas di tangan Raden Gajah alias Bhra Narapati. Wikramawardhana kemudian memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabumi sebagai selir.<br /><a name="Akhir_Pemerintahan_Wikramawardhana"></a><br /><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>§ Perang Paregreg<br /></strong><br />Perang Paregreg adalah perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardana, melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi tahun 1404-1406 dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit. Peristiwa Perang paregreg dapat diuraikan sebagai berikut </div><div align="justify"><br /></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Periode Kadaron Wetan (1376–1406)<br /></div></strong><div align="justify">Pada tahun 1376 muncul sebuah gunung baru. Peristiwa ini dapat ditafsirkan sebagai munculnya kerajaan baru, karena menurut kronik cina Ming-shih dari Dinasti Ming yang diterjemahkan W.P.Groeneveldt sebagai berikut: “In this country there is a western and an eastern king. The latter is called Wu-lao-wang-chieh and the former Wu-lao-po-wu. Both of them sent envoys with tribute”., menjelaskan bahwa pada tahun 1377 di Jawa ada dua kerajaan merdeka yang sama-sama mengirim duta ke Cina. Kerajaan Barat dipimpin Wu-lao-po-wu, dan Kerajaan Timur dipimpin Wu-lao-wang-chieh. Wu-lao-po-wu adalah ejaan Cina untuk Bhra Prabu, yaitu nama lain Hayam Wuruk (menurut Pararaton) sedangkan Wu-lao-wang-chieh adalah Bhre Wengker alias Wijayarajasa, suami Rajadewi yang rupanya berambisi menjadi raja. </div><div align="justify"><br />Pertikaian ini menyebabkan munculnya kerajaan separatis yang dalam Pararaton disebut Kadaton Wetan (istana timur), untuk membedakannya dari kerajaan Majapahit yang disebut Kadaton Kulon (istana barat). Hal ini diungkapkan oleh Pararaton dengan kalimat tumuli hana gunung anyar i saka 1298 (“lalu terjadi gunung baru pada 1298 Saka = 1376 Masehi”). Oleh karena ‘gunung’ melambangkan tahta kekuasaan, informasi ini kiranya mengisyaratkan munculnya kerajaan baru. </div><div align="justify"><br />Bhre Wengker pada zaman Hayam Wuruk adalah Wijayarajasa, suami Rajadewi bibi Hayam Wuruk. Wijayarajasa juga mertua Hayam Wuruk sebab merupakan ayah dari permaisuri Sri Sudewi. Dari kitab Nagarakretagama yang ditulis pujangga Prapanca tahun 1365 kita memperoleh gambaran bahwa Wijayarajasa memang mempunyai ambisi untuk berkuasa. </div><div align="justify"><br />Setelah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364, lalu disusul oleh wafatnya Tribhuwana dan Rajadewi antara 1372 dan 1375, Wijayarajasa mewujudkan ambisinya sebab tokoh-tokoh yang diseganinya tidak ada lagi. Pada tahun 1376 dia memproklamasikan kadaton wetan yang lepas dari Majapahit. Tahun berikutnya Majapahit dan kadaton wetan sama-sama mengirimkan utusan kepada Dinasti Ming di Cina. </div><div align="justify"><br />Di manakah letak kadaton wetan? Menurut Pararaton dan prasasti Biluluk, Wijayarajasa bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan (Yang Dipertuan di Pamotan). Oleh karena kata muwat bersinonim dengan nanggung, maka Pamotan (Pamuwatan) barangkali adalah Gunung Penanggungan di sebelah timur Mojokerto sekarang. Wijayarajasa agaknya sengaja memilih tempat itu menjadi pusat kerajaan sebagai pembenaran tindakan separatisnya. Daerah Penanggungan atau Pamotan merupakan tempat suci raja Airlangga, sehingga Wijayarajasa kiranya ingin menunjukkan bahwa pembentukan negara baru itu mengikuti tradisi Airlangga yang pernah membagi dua kerajaannya. </div><div align="justify"><br />Adanya kadaton wetan menyebabkan keluarga Majapahit pecah menjadi dua kelompok. Sebagian besar tetap setia kepada Hayam Wuruk. Akan tetapi mereka yang berkerabat dengan Wijayarajasa terpaksa hijrah memihak kadaton wetan, yaitu Bhre Daha(III) Indudewi dengan suaminya Bhre Matahun(I) Raden Larang, dan anak angkat mereka Bhre Wirabhumi(II) dengan istrinya Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, serta tiga orang putri Bhre Wirabhumi(II). </div><div align="justify"><br />Hayam Wuruk segan bertindak tegas menghadapi negara separatis itu sebab Wijayarajasa adalah mertuanya, Indudewi adalah sepupunya, dan Bhre Wirabhumi(II) adalah putranya dari selir. Selagi tokoh-tokoh senior masih hidup, kadaton kulon dan kadaton wetan saling menenggang rasa sehingga konfrontasi terbuka dapat dihindari. </div><div align="justify"><br />Akan tetapi keadaan seperti itu tidaklah dapat dipertahankan setelah para tokoh senior meninggal dunia. Pada tahun 1386 Kertawardhana (ayah Hayam Wuruk) wafat. Dua tahun berikutnya, 1388, wafat pula secara berturut-turut permaisuri Sri Sudewi, Dyah Nartaja (adik Hayam Wuruk) dan suaminya Raden Sumana. Dua tokoh kadaton wetan, Raden Larang dan Wijayarajasa sendiri, juga wafat. Akhirnya mangkat pula raja Hayam Wuruk tahun 1389.<br />Wikramawardhana menjadi raja Majapahit dan kemudian dikenal dengan Hyang Wisesa, sedangkan tahta kadaton wetan diwarisi Bhre Wirabhumi(II). Gelar Bhre Kahuripan(IV) disandang Surawardhani, dan putra kedua Wikramawardhana digelari Bhre Tumapel(II).<br /><br />Suhita dan suaminya, Ratnapangkaja, masing-masing kiranya menjadi Bhre Pajang(II) dan Bhre Paguhan(II), meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton. Wikramawardhana bertindak konfrontatif terhadap kadaton wetan dengan memberikan gelar Bhre Lasem (padahal sedang disandang adiknya, Nagarawardhani) kepada permaisurinya, Kusumawardhani. Dalam Pararaton, Kusumawardhani disebut Bhre Lasem Yang Cantik (Sang Ahayu) dan Nagarawardhani disebut Bhre Lasem Yang Gemuk (Sang Alemu). </div><div align="justify"><br />Putra mahkota Rajasakusuma wafat tahun 1399 dan bergelar anumerta Hyang Wekas ing Sukha. Tahun 1400 wafat pula Bhre Lasem(II) Nagarawardhani, Bhre Lasem(III) Kusumawardhani, Bhre Kahuripan(IV) Surawardhani, dan Bhre Pandansalas(I) Ranamanggala. Maka terjadilah regenerasi gelar bagi yang muda. Ratnapangkaja menjadi Bhre Kahuripan(V), dan adiknya, istri Bhre Tumapel(II), menjadi Bhre Lasem(IV). Gelar Bhre Pandansalas(II) disandang oleh Raden Jagulu, adik Ranamanggala. Dua orang putra Bhre Tumapel(II) dengan Bhre Lasem(IV) masing-masing diberi gelar Bhre Wengker(II) dan Bhre Paguhan(III). Satu-satunya tokoh senior yang masih hidup saat itu adalah Bhre Daha(III) Indudewi yang mendampingi anak angkatnya, Bhre Wirabhumi(II), di kadaton wetan. </div><div align="justify"><br />Perang Paregreg adalah perang yang identik dengan tokoh Bhre Wirabhumi. Nama asli Bhre Wirabhumi tidak diketahui. Menurut Pararaton, ia adalah putra Hayam Wuruk dari selir, dan menjadi anak angkat Bhre Daha istri Wijayarajasa, yaitu Rajadewi. Bhre Wirabhumi kemudian menikah dengan Bhre Lasem sang Alemu, putri Bhre Pajang (adik Hayam Wuruk). </div><div align="justify"><br />Menurut Nagarakretagama, istri Bhre Wirabhumi adalah Nagarawardhani putri Bhre Lasem alias Indudewi. Indudewi adalah putri Rajadewi dan Wijayarajasa. Berita dalam Nagarakretagama lebih dapat dipercaya dari pada Pararaton, karena ditulis pada saat Bhre Wirabhumi masih hidup. Jadi kesimpulannya, Bhre Wirabhumi lahir dari selir Hayam Wuruk , menjadi anak angkat Rajadewi (bibi Hayam Wuruk), dan kemudian dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi.<br /><a name="Perang_Dingin_Wikramawardhana_dan_Bhre_W"></a><br /></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Perang Dingin Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi<br /></div></strong><div align="justify">Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara Majapahit istana barat dan timur masih diliputi perasaan segan, mengingat Wijayarajasa adalah mertua Hayam Wuruk . Wijayarajasa meninggal tahun 1398. Ia digantikan anak angkat sekaligus suami cucunya, yaitu Bhre Wirabhumi sebagai raja istana timur. Sementara itu Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Ia digantikan keponakan sekaligus menantunya, yaitu Wikramawardana.<br /><br />Ketika Indudewi meninggal dunia, jabatan Bhre Lasem diserahkan pada putrinya, yaitu Nagarawardhani. Tapi Wikramawardana juga mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem. Itulah sebabnya, dalam Pararaton terdapat dua orang Bhre Lasem, yaitu Bhre Lasem Sang Halemu istri Bhre Wirabhumi, dan Bhre Lasem Sang Ahayu istri Wikramawardana.<br /><br />Sengketa jabatan Bhre Lasem ini menciptakan perang dingin antara istana barat dan timur, sampai akhirnya Nagarawardhani dan Kusumawardhani sama-sama meninggal tahun 1400. Wikramawardana segera mengangkat menantunya sebagai Bhre Lasem yang baru, yaitu istri Bhre Tumapel.<a name="Terjadinya_Perang_Paregreg"></a><br /><br /></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Terjadinya Perang Paregreg<br /></div></strong><div align="justify">Setelah pengangkatan Bhre Lasem baru, perang dingin antara istana barat dan timur berubah menjadi perselisihan. Menurut Pararaton , Bhre Wirabhumi dan Wikramawardana bertengkar tahun 1401 dan kemudian tidak saling bertegur sapa. Perselisihan antara kedua raja meletus menjadi Perang Paregreg tahun 1404. Paregreg artinya perang setahap demi setahap dalam tempo lambat. Pihak yang menang pun silih berganti. Kadang pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang dimenangkan pihak barat.<br /><br />Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapel ikut campur membantu pihak Wikramawardhana. Akhirnya, pada tahun 1406 pasukan barat dipimpin Bhre Tumapel putra Wikramawardana menyerbu pusat kerajaan timur. Bhre Wirabhumi menderita kekalahan dan melarikan diri menggunakan perahu pada malam hari. Ia dikejar dan dibunuh oleh Raden Gajah alias Bhra Narapati yang menjabat sebagai Ratu Angabhaya istana barat. Raden Gajah membawa kepala Bhre Wirabhumi ke istana barat. Bhre Wirabhumi kemudian dicandikan di Lung bernama Girisa Pura. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre WirabhÅ«mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut. </div><div align="justify"><br />Seusai Perang Paregreg, Bhre Daha(III) Indudewi diboyong pulang oleh Wikramawardhana ke Majapahit dan dihormati sebagai sesepuh. Saudara sepupu Hayam Wuruk ini wafat tahun 1415 bersama-sama Bhre Mataram(III) dan Bhre Matahun(II). Gelar Bhre Daha(IV) paling layak diwarisi oleh Suhita meskipun tidak disebutkan dalam Pararaton, dan adiknya, Kertawijaya, kiranya menjadi Bhre Mataram(IV).<br /><br />Istri Kertawijaya, Jayeswari, pantas menjadi Bhre Kabalan(II). Untuk menghilangkan benih balas dendam, tiga putri Bhre Wirabhumi(II) masing-masing dinikahi oleh Wikramawardhana, Bhre Tumapel(II) putra Wikramawardhana dan Bhre Wengker(II) cucu Wikramawardhana. Ketiga putri itu berturut-turut diberi gelar Bhre Mataram(III), Bhre Lasem(V), dan Bhre Matahun(II). Sungguh suatu pernikahan yang sangat unik: tiga putri bersaudara bersuamikan orang-orang tiga generasi!<br /><a name="Akibat_Perang_Paregreg"></a></div><div align="justify"></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Akibat Perang Paregreg<br /></div></strong><div align="justify">Setelah kekalahan Bhre Wirabhumi, kerajaan timur kembali bersatu dengan kerajaan barat. Akan tetapi, daerah-daerah bawahan di luar Jawa banyak yang lepas tanpa bisa dicegah. Misalnya, tahun 1405 daerah Kalimantan Barat direbut kerajaan Cina. Lalu disusul lepasnya Palembang, Melayu, dan Malaka yang tumbuh sebagai bandar-bandar perdagangan ramai, yang merdeka dari Majapahit. Kemudian lepas pula daerah Brunei yang terletak di Pulau Kalimantan sebelah utara. </div><div align="justify"><br />Selain itu Wikramawardana juga berhutang ganti rugi pada Dinasri Ming penguasa Cina. Sebagaimana disebutkan di atas, pihak Cina mengetahui kalau di Jawa ada dua buah kerajaan, barat dan timur. Laksamana Ceng Ho dikirim sebagai duta besar mengunjungi kedua istana. Pada saat kematian Bhre Wirabhumi, rombongan Ceng Ho sedang berada di istana timur. Sebanyak 170 orang Cina ikut menjadi korban. Atas kecelakaan itu, Wikramawardana didenda ganti rugi 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 ia baru bisa mengangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, Kaisar Yung Lo membebaskan denda tersebut karena kasihan. Peristiwa ini dicatat Ma Huan (sekretaris Ceng Ho) dalam bukunya, Ying-ya-sheng-lan. Setelah Perang Paregreg, Wikramawardana memboyong Bhre Daha putri Bhre Wirabhumi sebagai selir. Dari perkawinan itu lahir Suhita yang naik takhta tahun 1427 menggantikan Wikramawardana. Pada pemerintahan Suhita inilah, dilakukan balas dendam dengan cara menghukum mati Raden Gajah tahun 1433.<br /><br />Tiongkok mengetahui bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan Barat yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang dan Malayu di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting yang beragama Islam (1400), juga dianggap majapahit sudah hilang.<br /><br /><a name="Perang_Paregreg_dalam_Karya_Sastra_Jawa"></a>Ma Huan yang asli dari Tiongkok dan beragama Islam dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat mengiringi Cheng-Ho (utusan kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah lautan selatan, antara lain : </div><ul><li><div align="justify">Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata </div></li><li><div align="justify">Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga </div></li><li><div align="justify">Rakyat memakai kain dan baju </div></li><li><div align="justify">Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau gading </div></li><li><div align="justify">Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya </div></li><li><div align="justify">Biasa memakan sirih </div></li><li><div align="justify">Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu </div></li><li><div align="justify">Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria </div></li><li><div align="justify">Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh Dalang) </div></li><li><div align="justify">Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama anjing mereka.<br /></div></li></ul><div align="justify"></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Perang Paregreg dalam Karya Sastra Jawa<br /></div></strong><div align="justify">Peristiwa Paregreg tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa dan dikisahkan turun temurun. Pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, kisah Paregreg dimunculkan kembali dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. </div><div align="justify"><br />Dikisahkan dalam Serat Kanda, terjadi perang antara Ratu Kencanawungu penguasa Majapahit di barat melawan Menak Jingga penguasa Blambangan di timur. Menak Jingga akhirnya mati di tangan Damarwulan utusan yang dikirim Ratu Kencanawungu. Setelah itu, Damarwulan menikah dengan Kencanawungu dan menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Mertawijaya. Dari perkawinan tersebut kemudian lahir Brawijaya yang menjadi raja terakhir Majapahit.<br /></div><div align="justify"></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong></div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong></strong> </div><div align="justify"><strong>Akhir Pemerintahan Wikramawardhana<br /></div></strong><div align="justify">Pada tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang Putra Mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre Lasem dan Bhre Wengker. Wikramawardhana akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan di Wisesapura yang terletak di Bayalangu.</div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-15723416737952046012009-07-15T19:08:00.001-07:002009-07-20T17:54:55.752-07:00HAYAM WURUK<div align="justify"><div><strong><span style="color:#000066;">HAYAM WURUK / Rajasanegara<br />( 1350-1389 )<br /></span></strong><br /></div><div>Pada tahun (1350-1389) Majapahit mencapai masa keemasannya dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk bergelar Rajasanegara didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Adityawarman dan Mpu Nala sehingga pada masa tersebut Majapahit, karena daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Nusantara. Majapahit berkembang sebagai kerajaan maritim sekaligus kerajaan agraris. </div><div><br />Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti "ayam yang masih muda". Hayam Wuruk naik takhta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan </div><div> </div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRlDdSYHiD7z05FIg2mmjGjh2PHXUPLtYpPM-YkBlOeO-YySU_Zw9kwdTpGEo7axxN0chk8M1n5tYeJdz1MrfpaPzE70VtTaIev6Ps9nmIL_WzcTkFpsQBvzyBvMkM3kIARX3kAFqnAfPO/s1600-h/peta+situs.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360702657912840386" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 180px; CURSOR: hand; HEIGHT: 142px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRlDdSYHiD7z05FIg2mmjGjh2PHXUPLtYpPM-YkBlOeO-YySU_Zw9kwdTpGEo7axxN0chk8M1n5tYeJdz1MrfpaPzE70VtTaIev6Ps9nmIL_WzcTkFpsQBvzyBvMkM3kIARX3kAFqnAfPO/s320/peta+situs.jpg" border="0" /></a>Hayam Wuruk mempunyai dua orang anak yaitu Nagarawardani/ Bhre Lasem yang lahir dari Paduka Sori dan Bhre Wirabumi yang lahir dari selir. Perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori yang masih saudara sepupu putri dari Bhre Prameswara yaitu Raja Wijayarajasa dari Wengker terjadi tahun saka 1279 yaitu setelah kegagalan perkawinannya dengan Dyah Pitaloka yaitu Putri Raja Linggabuana dari kerajaan Pasundan .<br /><a title="Peta Situs Trowulan" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Trowulan_Archaeological_Site.gif"></a><br /><span style="font-size:85%;color:#660000;"><em>Peta Situs Trowulan<br /></em></span></div><div>Pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya - Surakarta-.Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit . Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15<br /></div><div> </div><div><strong>Masa Pemerintahan Hayam Wuruk<br /></strong></div><div>Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya<br /></div><div>Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Bendasari.<br /></div><div><strong>1. Mahamentri Katrini</strong><br />· Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara<br />· Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo<br />· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing </div><div><br /><strong>2. Sang Panca Wilwatika</strong><br />· Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada<br />· Rakyan Demung : Pu Alus<br />· Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil<br />· Rakyan Rangga : Pu Roda<br />· Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata </div><div><br />Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu. </div><div><br />Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan <a title="Hayam Wuruk" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Hayam_Wuruk">Hayam Wuruk</a>, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi. Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu. </div><div><br />Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.<br />Pejabat pemerintahan dibawah Raja yaitu Patih Amangkubumi (Patih Seluruh Negara) bertugas memberi perintah dan arahan tentang jalannya pemerintahan di Negara bawahan atau daerah. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa para patih Negara bawahan dan para pembesar lainnya berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. </div><div><br />Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu: </div><div><br />1. Daha oleh Bhre Daha yaitu Dyah Wijat Sri Rajadewi yang merupakan adik kandung dari Tribhuwana Tunggadewi ibu dari Raja Hayam Wuruk.<br />2. Wengher oleh Raja Wijayarajasa yaitu<br />3. Matahun oleh Raja Rajasawardhana<br />4. Lasem oleh Bhre Lasem<br />5. Pajang oleh Bhre Pajang<br />6. Paguhan oleh Raja Singawardhana<br />7. Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.<br />8. Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.<br />9. Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.<br />10. Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.<br />11. Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.<br />12. Jagaraga<br />13. Kabalan<br />14. Singhapura </div><div><br />Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan. Raja dan Juru Pengalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab namun dalam pemerintahanya dikuasakan kepada Patih.. </div><div><br />Dalam pemerintahan dipusat segala urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab Patih Amangkubumi yaitu Gajah Mada, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Lain halnya dengan pemerintahan di seberang lautan yang merupakan wilayah Majapahit, Raja- Raja dan pembesar daerah bawahan berdaulat penuh, kewajiban utama daerah bawahan kepada Majapahit yaitu menyerahkan upeti tahunan dan menghadap Raja pada waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit. </div><div><br />Untuk mengawasi wilayah Majapahit yang begitu luas maka Majapahit memiliki Armada lautan yang sangat besar dan ditakuti oleh negara Negara lainnya. Armada ini ditempatkan di Lautan Teduh (Pasifik) dan dipantai utara pulau Jawa. Dan juga berusaha menjalin persahabatan dengan negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata yang berarti sahabat atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara damai.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEZsrnMAPwGwqzYKsRhONV_w15ORiJuEM35O0aQQO3HUI2V716TFu-RLEIEuLuPrfcmRSNkJLH3QJmsRf6XpKnFOTs8SE38MVWAf5OjKq0UbwDsPgGAOqNkoX9K_9xaTn8xlvfkyM4MjcQ/s1600-h/perahu+cadik.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360702650905427458" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 180px; CURSOR: hand; HEIGHT: 146px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEZsrnMAPwGwqzYKsRhONV_w15ORiJuEM35O0aQQO3HUI2V716TFu-RLEIEuLuPrfcmRSNkJLH3QJmsRf6XpKnFOTs8SE38MVWAf5OjKq0UbwDsPgGAOqNkoX9K_9xaTn8xlvfkyM4MjcQ/s320/perahu+cadik.jpg" border="0" /></a><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiV3eqz8ZxyXtsNcd4FRrRpJ-ZGXySQ6RkQ64wa4AChAWN51isqALFFAVeIYZCgBN-d35JtrryoPVhNWGrFxiCc7US3uZ5URLbyX58oZORRJcF1hvylfCQVoH-f0T7dnIXJCCXw8tkY0QmE/s1600-h/180px-Rigging4.png"></a><br /><span style="font-size:85%;color:#660000;"><em>Perahu bercadik sebagai Armada Laut Majapahit dibawah komanda Laksamana Nala </em></span></div><div><br /><strong>Dalam Bilang Ekonomi & Perdagangan<br /></strong></div><div>Dalam kehidupan ekonomi, kerajaan Majapahi masih mencerminkan sebagai negara agraris, karena aspek agraria lebih menonjol dibandingkan perdagangan antar pulau. Pemerintahan Majapahit selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas perdagangan. </div><div><br />Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. </div><div><br />Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. </div><div><br />Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Di bidang perdagangan walaupun tidak semenonjol kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Majapahit berperan sebagai pedagang perantara. Menurut berita dari Cina, Majapahit telah memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala, kayu cendana dan gading. Banyak pedagang Cina yang membeli barang-barang tersebut dari pedagang Majapahit. </div><div> </div><div>Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana. Dalam dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.<br /><br /><br /><strong>Dalam Bidang Keagamaan<br /></strong><br />Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Dharmadhyaksa kasaiwan yang mengurus agama Syiwa Budha dan Dharmadhyaksa Kasogatan yang mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut Dharma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.<br />Banyaknya pejabat tersebut menunjukan keompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta toleransi. </div><div><br />Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dari berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit. Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”. </div><div><br />Dalam Nagarakretagama pupuh 85 diuraikan bahwa tiap bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama setiap tahun Raja Hayam Wuruk mengadakan pertemuan dengan para Menteri, perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala desa dari luar kota untuk membahas tanggung jawab pemerintahan didaerahnya masing-masing. Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:<br /><br />· Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungan Solo dan Brantas<br />· Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)<br />· Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih<br />· Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran)<br />· Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)<br />· Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)<br />· Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371 </div><div><br /><br /><strong>Wilayah Kekuasaan Majapahit Jaman Pemerintahan Hayam Wuruk<br /></div></strong><div>Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. </div><div><br />Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China. </div><div><br />Untuk menambah pemahaman Anda, tentang daerah kekuasaan Majapahit simaklah gambar peta kekuasaan Majapahit berikut.<br /></div><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIouv0zkisVBi-Ttqzhth5q4d_GKwIXsEsDcHWVewH8F_1rvNdgjDuapo6_EoJJ0D3cpqONbFJ0lw-SRUl5jgAwDk_z0F0C5TZDCPpfo31FP809E_tGt-Zr38Y9jrZ4027xIsNq84t-lhb/s1600-h/peta+wil+majaht.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360702646655013858" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 185px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIouv0zkisVBi-Ttqzhth5q4d_GKwIXsEsDcHWVewH8F_1rvNdgjDuapo6_EoJJ0D3cpqONbFJ0lw-SRUl5jgAwDk_z0F0C5TZDCPpfo31FP809E_tGt-Zr38Y9jrZ4027xIsNq84t-lhb/s320/peta+wil+majaht.jpg" border="0" /></a></div><div><em><span style="font-size:85%;color:#660000;">Peta wilayah Kekuasaan Majapahit<br /></span></em><a href="http://www.ggr.ulaval.ca/ATLAS_J/HistE.html#C" target="_top"></a><br />Daerah-daerah diluar jawa yang dikuasai Majapahit pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk seperti diuraikan dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 antara lain : </div><div><br />1. Di Sumatra : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung.<br /><br />2. Di Kalimantan : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei dan malano.<br /><br />3. Di Semenanjung Tanah Melayu : Pahang, Langkasuka, Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah dan Jerai.<br /><br />4. Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda) Amabon, Wanin, Seram dan Timor. </div><div><br />Setelah menyimak gambar tersebut, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya.<br />Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang, menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.<br /><br /><strong></strong></div><div><strong>Beberapa Perostiwa Penting dalam Masa Pemerintahan Hayam Wuruk<br />§ Perang Bubat (1357)<br /></strong><br />Sumber yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang tersebut justru terdapat dalam Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab Pararaton dikisahkan peristiwa Bubat terjadi pada Tahun Saka 1257 atau 1357 tahun Masehi di masa pemerintahan Hayam Wuruk. </div><div><br />Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan Nusantara mencapai hasilnya di masa ini dari mulai Tumasek (Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram seluruh penguasanya menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Tetapi di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri, belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda Pakuan yang terletak lebih ke arah barat. </div><div><br />Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah timur, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum. </div><div><br />Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Baik ibu suri Tribhuana Tunggadewi maupun Dyah Wyjat berpendapat bahwa kerajaan Sunda adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya, salah satu leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda. Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada. </div><div><br />Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya. Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu. </div><div><br />Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang beruntung tersebut. Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana. Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya yaitu </div><div><br />1. Gajah Enggon menjabat pinpinan utusan Khusus<br />2. Ma Panji Elam menjabat sebagai Sang Arya Rajapakrama<br />3. Pu Kapasa menjabat sebagai Arya Suradhiraja<br />4. Pu Menur menjabat sebagai Sang Arya Wangsaprana<br />5. dan Pu Kapat menjabat sebagai Sang Arya Patipati </div><div><br />untuk pergi bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh menyampaikan maksud Gajah Mada agar kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Sekembalinya utusan tersebut, prabu Hayam Wuruk ternyata berkenan dengan kecantikan putri Dyah Pitaloka Citrasemi dan berniat menjadikannya sebagai permaisuri. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara. </div><div><br />Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan dilangsungkan. </div><div><br />Setelah pinangan dari prabu Hayam Wuruk diterima akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit. Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka. Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan). </div><div><br />Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya. </div><div><br />Catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahi dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, Raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. </div><div><br />Upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. </div><div><br />Prabu Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Prabu Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit. <a name="Kesalah-pahaman"></a>Sepuluh hari telah berlalu akhirnya sampailan rombongan di Majapahit dan diterima oleh para pembesar Majapahit serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.<br /><br /><strong></strong></div><div><strong>Kesalah-pahaman</strong> </div><div><br />Setelah rombongan samapai di pesanggrahan Bubat datanglah utusan Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar putri Dyah Pitaloka diserahkan ke kerajaan Majapahit sebagai persembahan, tanda bahwa Sunda Galuh tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada tersebut, namun sebagai seorang pemimpim yang arif sang prabu tidak bertindak gegabah untuk dengan serta merta mengadakan perlawanan di tempat. Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut merasa marah dan dilecehkan. </div><div><br />Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. </div><div><br /> </div><div><strong>Gugurnya rombongan Sunda </strong></div><div><br />Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.<br /><a name="Gugurnya_rombongan_Sunda"></a><br />Relief Raja Jaman Majapahit<br />Para Pemimpin Sunda naik darah ketika mengetahui niat Gajah Mada tersebut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya melakukan perlawanan terhadap pasukan dari Majapahit.<br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0Kmf6_4OlBPEg5Mpjuq9ixNzbiTu8W55Gks5vpIQUqFXAnHry8OTDE2fPDti6ioLaDDYWdliiMCwhiRE5TOEb4vnDEt-4DLX0p9ViCB_8fm4_qpCSxVvCMO2_ciA6Mjub2Ls1fQ7hqmTz/s1600-h/relief+raja2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360702641247749554" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 240px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0Kmf6_4OlBPEg5Mpjuq9ixNzbiTu8W55Gks5vpIQUqFXAnHry8OTDE2fPDti6ioLaDDYWdliiMCwhiRE5TOEb4vnDEt-4DLX0p9ViCB_8fm4_qpCSxVvCMO2_ciA6Mjub2Ls1fQ7hqmTz/s320/relief+raja2.jpg" border="0" /></a><br />Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang. </div><div><br />Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar di sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut ,melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. </div><div><br />Dalam pertempuran tersebut Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur terlebih dahulu. Pasukan Sunda kemudian menyerang kearah selatan , pasukan Majapahit dibuat kocar kacir oleh serangan tersebut. </div><div><br />Serangan pasukan Sunda kemudian dapat dipatahkan oleh pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewis, Patih Teteg dan Jaran Baya. Para Menteri Arraman dan pasukan berkuda ganti menyerang tentara Pasundan, serangan tersebut berhasil meluluh lantakan pertahanan sehingga pasukan pasundan menyingkir kearah barat daya. Pasukan Pasundan akhirnya terkepung sehingga langsung berhadapan dengan pasukan pimpinan Gajah Mada. Setiap pasukan Pasundan yang menghadang kereta Gajah Mada berhasil disingkirkan satu persatu sehingga peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Prabu Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. </div><div><br />Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (Darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda agar diambil hikmahnya. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. </div><div><br />Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit). </div><div><br /><a name="Sumber"></a>Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit. </div><div><br />"Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.<br /><br /></div><div><strong>Peristiwa Bubat dalam Kidung Sunda </strong></div><div><br />Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama. </div><div><br /><a name="Pupuh_I"></a><strong></strong> </div><div><strong>Pupuh I<br /></div></strong><div>Hayam Wuruk, raja Majapahit hayang nyiar pibojoeun. Lajeng anjeunna ngirimkeun utusan ka sakuliah <a title="Nusantara" href="http://su.wikipedia.org/wiki/Nusantara">Nusantara</a> pikeun néangan putri nu cocog. Para utusan mulang bari marawa lukisan para putri ti rupa-rupa nagara, ngan taya nu bisa ngirut atina. Lajeng Hayam Wuruk ngadéngé béja kegeulisan putri Sunda, geuwat baé anjeunna ngirim juru lukis ka Sunda. Nalika juru lukis balik deui bari mawa lukisan putri Sunda, kabeneran harita keur aya pamanna raja <a title="Kahuripan (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Kahuripan&action=edit&redlink=1">Kahuripan</a> jeung <a title="Daha (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Daha&action=edit&redlink=1">Daha</a> nu miharep sangkan Hayam Wuruk geura meunang jodo. Hayam Wuruk nu kataji ku lukisan putri Sunda, lajeng anjeunna ngutus mantri Madhu pikeun ngalamar ka karajaan Sunda.<br />Madhu nepi ka tatar Sunda sanggeus lalayaran salila genep poé, terus baé nepungan raja Sunda. Raja Sunda gumbira nampa lamaran ti raja Majapahit nu kawentar ieu, sedengkeun Putri Sundana pribadi teu loba catur. </div><div><br />Madhu mulang ka Majapahit bari mawa surat balesan ti raja Sunda sarta ngibérkeun rék datangna rombongan ti Sunda. Teu lila ti harita rombongan karajaan Sunda angkat diiring ku rombongan nu loba pisan: dua réwu kapal (kaasup kapal laleutik). Kapal nu dianggo ku kulawarga raja Sunda nyaéta "<a title="Kapal jung (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Kapal_jung&action=edit&redlink=1">kapal jung</a> <a title="Tatar (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Tatar&action=edit&redlink=1">Tatar</a> (<a title="Mongol (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Mongol&action=edit&redlink=1">Mongol</a>/<a title="Cina" href="http://su.wikipedia.org/wiki/Cina">Cina</a>) nu ilahar dipaké satutasna perang Wijaya" (bait 1. 43a.). Ngan nalika naraék kapal, aranjeunna ningal kila-kila nu teu pihadéeun. </div><div><br />Majapahit sorangan sibuk nyiapkeun sambutan pikeun para tamu. Sapuluh poé ti harita, kapala désa Bubat ngalaporkeun geus datangna rombongan Sunda. Prabu Hayam Wuruk jeung paman-pamanna geus saged rék ngabagéakeun nu datang, tapi patih Gajah Mada teu panuju. Anjeunna keukeuh nyebutkeun yén Maharaja Majapahit teu pantes ngabagéakeun/nyambut raja nu statusna raja lokal (<a title="Vazal (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Vazal&action=edit&redlink=1">vazal</a>) kawas raja Sunda, malah saha nu nyaho yén anjeunna téh musuh nu nyamar. </div><div><br />Mangka, nurutkeun pamanggih Gajah Mada, Prabu Hayam Wuruk teu jadi indit ka Bubat. Para abdi dalem karaton jeung pangagung séjénna kagét ngadéngé hal ieu, tapi maranéhna teu wani ngabantah. </div><div><br />Di Bubat, rombongan Sunda hawar-hawar geus ngadéngé iber ngeunaan kaayaan di Majapahit. Lajeng raja Sunda ngirimkeun utusan, patih Anepakén, indit ka Majapahit. Anjeunna angkat dibarengan ku tilu pangagung séjénna sarta tilu ratus prajurit, langsung ka palinggihan Gajah Mada. Di dinya patih Anepakén sasanggeman yén Raja Sunda rék mulang sarta nyangka yén Hayam Wuruk ingkar jangji. Aranjeunna paséa rongkah sabab Gajah Mada keukeuh mikahayang urang Sunda lumaku sakumaha patalukan Nusantara Majapahit. Di kapatihan éta ampir bantrok, ngan kaburu dipisah ku Smaranata, pandita karajaan Majapahit. Mangka utusan Sunda marulang deui kalawan ngémbarkeun yén kaputusan ahir raja Sunda bakal ditepikeun dina jangka dua poé. </div><div><br />Ngadangu émbaran ieu, raja Sunda teu sudi lumaku salaku patalukan. Lajeng anjeunna sasanggeman mutuskeun yén leuwih hadé gugur salaku satria. Demi méla kahormatan, leuwih hadé gugur batan hirup bari dihina urang Majapahit. Sadaya pangagung katut rombongan Sunda tumut kana kaputusan ieu sarta milu béla ka rajana. </div><div><br />Lajeng raja Sunda nepungan istri katut putrana, anjeunna nyaritakeun niatna lajeng miwarang kulawargana mulang, tapi aranjeunna nolak kalawan keukeuh rék ngabaturan rajana.<br /></div><div> </div><div><strong>Terjemahannya Pupuh I<br /></strong></div><div>Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.<br /><br />Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya. Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. </div><div><br />Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.<br /><br />Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)<br /><br />Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar.<br /><br />Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.<br /><br />Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakan untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.<br /><br />Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya. </div><div><br />Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.<br /><a name="Pupuh_II_.28Durma.29"></a></div><div> </div><div><strong>Pupuh II (</strong><a title="Durma" href="http://su.wikipedia.org/wiki/Durma"><strong>Durma</strong></a><strong>)<br /></strong></div><div>Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui. </div><div><br />Pasukan Majapahit disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para pangagung karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna pangtukangna. Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina.<br /><a name="Pupuh_III_.28Sinom.29"></a></div><div> </div><div><strong>Terjemahannya Pupuh II (Durma)<br /></strong></div><div>Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan. Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya. </div><div><br />Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakan dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka </div><div><br /> </div><div><strong>Pupuh III (</strong><a title="Sinom" href="http://su.wikipedia.org/wiki/Sinom"><strong>Sinom</strong></a><strong>)<br /></strong></div><div>Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu. Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah. Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida. </div><div><br />Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah <a title="Yoga (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Yoga&action=edit&redlink=1">yoga</a> <a title="Samadi (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Samadi&action=edit&redlink=1">samadi</a>, sahingga anjeunna ngaleungit (moksa) ka (<a title="Niskala (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Niskala&action=edit&redlink=1">niskala</a>). </div><div><br />Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa jeung “<a title="Siwa (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Siwa&action=edit&redlink=1">Siwa</a> jeung <a title="Buda (can aya)" href="http://su.wikipedia.org/w/index.php?title=Buda&action=edit&redlink=1">Buda</a>”, mulang ka nagarana séwang-séwangan, sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.<br /></div><div> </div><div><strong>Terjemahannya Pupuh III (Sinom)<br /></strong></div><div>Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini. Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana. </div><div><br />Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala). </div><div><br />Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.<br /><br />Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.) <em><span style="color:#000066;">Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karapmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda. Abasa lali po kita nguni duk kita anakani jurit, amrang pradesa ring gunung, anti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir. Mantrimu kalih tinigas anama Las Beleteng ang?masi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burangik, padâmalakw ing urip.<br /><br />Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharapta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu tambe yen antu.<br /></span></em><br /><br /><strong>Terjemahannya<br /></strong></div><div>Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.<br /><br />Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.Kedua mantrimu yang bernama Las dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.<br /><br />Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”<br /><br />Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71) <em><span style="color:#000066;">yan kitâwadîng pati, lah age maraka, i jang sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sambah, sira sang nataputri. Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahan tuhanira, nora ngong mar?ka malih, angatarana, iki sang rajaputri. Mong kari sasisih bahune wong Sunda, r?mpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinabateng paprangan, srangan si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi. </span></em></div><div><br /><strong>Terjemahannya<br /></strong></div><div>jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri. Maka ini terdengar oleh Sri Raja Sunda dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!”<br /><br />Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).<br /><br />Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)<br /><em><span style="color:#000066;">Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhak?n aneng made sira wont?n aguling, mara sri narapati, kat?mu sira akukub, per?mas natar ijo, ingungkabak?n tumuli, kagyat sang nata dadi at?mah laywan.<br /><br />W?n?sning muka angraras, netra dum?ling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran mar?ka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.<br /><br />Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning par?ng prapta kongang mangkw at?mah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari ag?sang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.<br /><br />Palar-palar?n ing j?mah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskr?ti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama l?ngl?ng amrati cita.<br /><br />Sangsaya lara kagagat, p?t?ng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag pan?d?ng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, ar?r?b-r?r?b pawraning g?lung lukar.<br /></span></em><br /><br /><strong>Terjemahannya<br /></strong></div><div>Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat. Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.<br /><br />Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan! Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.<br /><br />Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut. Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.<br /><br /><strong></strong></div><div><strong>Analisis Kidung Sunda<br /><br /></strong>Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup.<br /><br />Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini. Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, sering kali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.<br /><br />Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka. Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci , Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut. Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.<br /><br />Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.<br /><br /></div><div><strong>Kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke Daerah Daerah </strong></div><div><br />Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa.<br />Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (<a href="http://thor.prohosting.com/~arema/malang/alam.htm">Telaga Ranu Gumbolo</a>) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung <a href="http://thor.prohosting.com/~arema/malang/alam.htm">Bromo - Tengger - Semeru</a> serta <a href="http://thor.prohosting.com/~arema/malang/alam.htm">Gunung Arjuna</a> adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.<br />Wafatnya Patih Gajah ada </div><div><br />Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang sangat diandalkan di dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit Prabu Hayam Wuruk kemudian memanggil para anggota Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari keluarga raja, Bhre Kuripan, Bhre Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun dan Bhre Pajang. Dalam rapat tersebut tidak dapat dikemukakan seseorang yang pantas untuk menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi. Rapat akhirnya memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan diganti. </div><div><br />Untuk mengisi lowongnya posisi patih Amangku bumi Prabu Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. </div><div><br />1. Empu Tandi terpilih sebagai Wreddhamantri<br />2. Empu Nala dipilih sebagai tumenggung Mancanegara<br />3. Srti nata Krertawardana dan Wikramawardhana dipilih sebagai Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung<br />4. Patih Dami dipilih sebagai Yuwamantri atau menteri muda yaitu sebagai kepala rumah tangga keraton.<br />5. Empu Singa terpilih sebagai sekretaris Negara bertugas sebagai penyalur segala perintah Baginda </div><div><br />Pekerjaan ini semua dilaksanakan oleh patih Gajah Mada seorang diri sebagai pejabat dibawah Prabu Hayam Wuruk, dengan demikian betapa pentingnya kedudukan patih Gajah Mada dalam Pemerintahan Majapahit. Jabatan patih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya. Demikianlah setelah patih Amangku Bumi Gajah Mada meninggal pada tahun saka 1286 atau Tahun Masehi 1364 Majapahit mengalami kemunduran, Kegemilangan kerajaan Majapahit yang gilang gemilang adalah sejarah kehidupan patih Gajah Mada. </div><div><br />Keadaan Kerajaan Majapahit seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan Majapahit.<br /><br /></div><div><strong>Upacara Srada </strong></div><div><br />Upacara srada dilaksanakan oleh Prabu hayam Wuruk pada tahun saka 1254 untuk memperingati wafatnya Sri Rajapatni (Gayatri ) atas perintah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, dalam Nagarakretagama diuraikan dalam pupuh 63 sampai dengan 67. Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya. </div><div><br />Sebagai patih Amangku Bumi Gajah Mada menyampaikan pesan kepada para Menteri dan Punggawa untuk turut menyumbang dalam upacara srada tersebut. Pada hari pertama upacara tersebut dimulai dengan pemujaan Budha. Upacara ini dipimpin oleh pendeta Stapaka dengan dibantu Empu dari paruh. Semua pendeta berdiri dalam lingkaran untuk menyaksikan pemujaan Budha oleh Sang Prabu. Kemudian menyusul doa untuk memanggil jiwa Rajapatni dari Budhaloka yang ditampung dalam arca bunga. Pada malam berikutnya dilanjutkan pemujaan terhadap arca bunga yang telah terisi jiwa Rajapatni, pemujaan dipimpin oleh pendeta dengan samadi dan puji pujian. Paginya arca bunga dibawa keluar disambut dengan bunyi tambur dan genderang. Arca bunga kemudian didudukkan di Singgasana setinggi orang berdiri. Pemujaan dimulai dengan semua pendeta Budha kemudian dilanjutkan dengan Raja , permaisurinya dan putra putranya serta anggota keluarga lainnya. </div><div><br />Pada hari ketujuh dipentaskan tari tarian dan kesenian lainnya dari berbagai wilayah Majapahit.<br />Upacara srada akhirnya ditutup pada Hari Kedelapan, Pagi pagi pendeta Budha berkumpul untuk melakukan pemujaan dengan lagu lagu pujaan yang diciptakan khusus untuk Rajapatni yang telah berpulang ke Budhaloka. Arca bunga kemudian diturunkan dari singgasana dengan upacara, semua sajian kemudian di bagikan habis ke semua undangan. Demikianlah upacara srada telah selesai dan dilanjutkan dengan perbaikan makam Rajapatni di Kamal Pandak.<br /></div><div> </div><div><strong>Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk<br /></strong></div><div>.Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbiq-q6v77VG88IqnV4v78X2hbibWZgeXBxOmBOd9wUMyxYcs8FaQX4JoNx13crKuJhznicMkvfCgy3P5mnQPkdU6Ps4CO4yLjvTUihPiBsd6jMw8U1ZDYcHbOUIseRzT3ENSA3ps_G6XA/s1600-h/kedaton.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360702653708338290" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand; HEIGHT: 239px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbiq-q6v77VG88IqnV4v78X2hbibWZgeXBxOmBOd9wUMyxYcs8FaQX4JoNx13crKuJhznicMkvfCgy3P5mnQPkdU6Ps4CO4yLjvTUihPiBsd6jMw8U1ZDYcHbOUIseRzT3ENSA3ps_G6XA/s320/kedaton.jpg" border="0" /></a>permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.<br />Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus. </div><div><br /><em><span style="font-size:85%;color:#660000;">Reruntuhan Keraton Majapahit</span></em></div><br /></div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-62934247107835748232009-07-15T19:07:00.001-07:002009-07-20T17:16:42.373-07:00TRIBHUWANA TUNGGADEWI<div align="justify"><strong><span style="color:#000099;">TRIBHUWANA WIJAYATUNGGADEWI /<br />Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. (1328-1351)<br /></span></strong><br /><br />Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari Prasasti Singasari (1351) dan piagam Berumbung tahun 1351 diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi ( disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wijat dan kakak tiri bernama Jayanagara . </div><div align="justify"><br />Wafatnya Jayanegara menimbulkan polemik yang cukup rumit karena beliau belum memiliki keturunan. Sesuai catatan sejarah sejak kematian Jayanegara dibutuhkan waktu selama setahun untuk menunjuk siapa yang berhak menjadi ratu Majapahit. Sesuai dengan aturan silsilah kerajaan, yang berhak menggantikan Sri Jayanegara sebagai raja adalah saudaranya, salah satu dari putri Sri Gitarja dan Dyah Wyat. Sebelum pilihan dijatuhkan ke salah satunya, kekuasaan masih dipegang di tangan Ratu Gayatri, istri mendiang Raden Wijaya (raja Majapahit pertama). Hal ini karena adanya potensi konflik yang dianalisis oleh Gajah Mada apabila penunjukan kekuasaan dilakukan secara tergesa-gesa. </div><div align="justify"><br />Analisis Gajah Mada berpusat pada kenyataan bahwa pengganti Sri Jayanegara sebagai raja Majapahit adalah seorang perempuan. Menilik pada sejarah, sebetulnya tidak menjadi masalah seorang perempuan menjadi Raja. Bukti nyatanya adalah putri Shima yang berhasil menegakkan kerajaan walaupun dia seorang perempuan. Walaupun demikian, Gajah Mada tidak bisa penyamarataan kondisi antara putri Shima dengan dua orang putri yang sama-sama berpotensi menggantikan Sri Jayanegara sebagai ratu Majapahit. </div><div align="justify"><br />Gajah Mada berkesimpulan bahwa memang tidak masalah seorang perempuan menjadi raja asalkan didampingi oleh figur yang kuat. Nah, figur kuat ini berasal dari laki-laki yang nantinya mendampingi mereka sebagai suami. Keluarga kerajaan telah memilih para ksatria sebagai pendamping kedua putri tersebut. Sri Gitarja dijodohkan dengan Raden Cakradara. Sedangkan Dyah Wyat dijodohkan dengan Raden Kudamerta. Keduanya adalah penguasa-penguasa wilayah setingkat kabupaten yang menjadi bagian dari Majapahit. Bersamaan dengan wafatnya raja Sri Jayanegara, kedua putri kerajaan tersebut juga dinikahkan dengan pasangannya.<br />Dan atas saran Gajah Mada akhirnya Ratu Gayatri menunjuk kedua putrinya untuk memimpin Majapahit. </div><div align="justify"><br />Menurut Nagarakretagama pupuh 49, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri ) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang tidak punya keturunan tahun 1328 yaitu 1 tahun setelah meninggalnya prabu Jayanegara. Nagarakretagama seolah memberitakan kalau takhta Jayanagara diwarisi Gayatri, karena ibu tirinya itu adalah putri Kertanagara. Mengingat Gayatri adalah putri bungsu, kemungkinan saat itu istri-istri Raden Wijaya yang lain sudah meninggal semua. Karena Gayatri telah menjadi pendeta, maka pemerintahannya pun diwakili oleh Tribhuwanotunggadewi.<br /><br />Raden Wijaya x Gayatri<br />↓<br />Tribhuwana Wijaya Tunggadewi<br /><br /><br />Menurut Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam, sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) Tribhuwana Tunggadewi diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan. Suami Tribhuwana bernama Cakradhara yang bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Pada Piagam Trowulan Tahun 1358 dikatakan bahwa Kerthawardhana adalah keturunan Raja Wisnuwardhana di Singhasari.Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai Yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang. </div><div align="justify"><br />Masa Pemerintahan Tribhuwana </div><div align="justify"><br />Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Brumbung tahun 1329. </div><div align="justify"><br /><strong>1. Mahamentri Katrini</strong><br />· Rakyan Menteri Hino : Dyah Anarjaya<br />· Rakyan Menteri Halu : Dyah Mano<br />· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Lohak </div><div align="justify"><br /><strong>2. Sang Panca Wilwatika<br /></strong>· Rakyan Patih Majapahit : Pu Krewes<br />· Rakyan Demung : Pu Tanparowang<br />· Rakyan Kanuruhan : Pu Blen<br />· Rakyan Rangga : Pu Roda<br />· Rakyan Tumenggung : Pu Wayuh </div><div align="justify"><br />Pemerintahan Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa dari Patih Gajah Mada. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Bedahulu (Bali) Tahun 1347. Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Malayu. Adityawarman kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatra. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur. </div><div align="justify"><br />Pada masa awal pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi yang menjadi patih amangkubumi adalah Arya Tadah. Pada tahun saka 1251 Arya Tadah sakit, dan merasa sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai patih Amangku bumi. Arya Tadah kemudian mohon kepada sang Ratu agar membebaskannya dari jabatannya tersebut, namun permintaan tersebut masih ditolak karena belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikan kedudukan tersebut. Arya Tadah merasa bahwa orang yang tepat untuk menggantikan kedudukannya sebagai patih Amangku Bumi adalah Gajah Mada karena Jasa jasanya terhadap Prabu Jayanegara dan penobatan Tribhuwana Wiojayatunggadewi sebagai Ratu Majapahit. </div><div align="justify"><br />Arya Tadah kemudian mendekati Gajah Mada untuk maksud tersebut namun Gajah Mada masih enggan menerima tawaran tersebut. Setelah didesak terus akhirnya Gajah Mada menerima tawaran tersebut sepulang dari menumpas pemberontakan di Sadeng. Dari peristiwa tersebut dapat kita ketahui bagaimana hati hatinya Gajah Mada mengambil sikap terhadap orang lain. Gajah Mada tidak ingin mengambil kedudukan orang lain, namun mengharapkan kerelaan dari orang yang menduduki jabatan tersebut karena dengan kerelaan tersebut diharapkan kerjasama dirinya dengan pejabat yang lama yaitu Arya Tadah akan berjalan dengan baik.<br /><br /><strong></strong></div><div align="justify"><strong>Peristiwa penting pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijaya Tunggadewi<br /></strong><br /><strong>· Pemberontakan Sadeng<br /><br /></strong>Pada tahun 1331 terjadi pemberontakan di daerah Sadeng dan Keta. Gajah Mada mempunyai cita cita untuk menundukkan Sadeng terlebih dahulu sebelum menerima jabatan sebagai patih Amangku bumi. Mengenai Keta dan Sadeng, diceritakan bahwa kedua wilayah bagian Majapahit tersebut berniat memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan melakukan persiapan serius. Diantaranya adalah melakukan perekrutan besar-besaran terhadap warga sipil untuk dididik keprajuritan di tengah hutan Alas Larang. Tujuannya adalah memperkuat angkatan perang kedua wilayah tersebut, yang pada akhirnya akan dibenturkan terhadap kekuatan perang Majapahit. </div><div align="justify"><br />Pada saat itu, Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan Swarnabhumi, di pulau Sumatra. Kedatangan raja Swarnabhumi – Adityawarman - ke Majapahit digambarkan menggunakan kapal perang berukuran besar yang belum ada tandingannya dari kesatuan pasukan laut Majapahit. Adityawarman sendiri adalah saudara sepupu mendiang prabu Sri Jayanegara, sekaligus sahabat yang cukup dekat dengan Gajah Mada. Penggambaran besarnya ukuran kapal perang dari Swarnabhumi agaknya dimaksudkan sebagai cikal bakal adopsi teknologi yang menjadikan besarnya armada laut Majapahit kelak ketika kampanye penyatuan nusantara dimulai. </div><div align="justify"><br />Dilihat dari kekuatan gelar pasukan, kekuatan Keta-Sadeng bukanlah apa-apa dibanding dengan kekuatan pasukan Majapahit. Namun, dibalik kekuatan fisik pasukan segelar sepapan yang belum sebanding dengan pasukan Gajah Mada, Keta-Sadeng dilindungi oleh kesatria mumpuni yang sakti mandraguna. Ksatria ini adalah mantan pelindung Raden Wijaya, raja Majapahit yang pertama. Nama ksatria tersebut adalah Wirota Wiragati, terkenal dengan kesaktiannya memiliki ajian sirep, ajian panglimunan, dan kekuatan untuk mendatangkan kabut yang bisa menyulitkan daya penglihatan pasukan mana pun.<br /><br />Tetapi alangkah kecewanya Gajah Mada bahwa pengepungan Sadeng terjadi sebelum kedatangannya, Ra kembar mendahului maksud Gajah Mada. Mengetahui hal tersebut para Menteri Araraman dan Gajah Mada sangat marah. Gajah Mada kemudian mengirim 5 bengkel yang masing masing terdiri dari 5 orang untuk menghajar Ra Kembar. Mereka kemudian bertemu dengan Ra Kembar di hutan dan sedang duduk di sebuah dahan pohon yang roboh, seperti naik kuda dan tangannya memegang cemeti. Para utusan kemudian menyampaikan kemarahan dari Gajah Mada dan bermaksud akan menghajar Ra kembar. Mengetahui serangan tersebut Ra kembar mencemeti dahi para utusan namun para utusan dapat menghindar dan melaporkan hal tersebut kepada Gajah Mada. Gajah Mada sangat kecewa karena cita citanya untuk menundukkan Sadeng tidak terlaksana karena telah didahului oleh Ra Kembar.<br /><br />Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya Adityawarman.<br /><br />Ra Kembar adalah putra bungsu Raja Pemelekahan, ia adalah prajurit yang tangguh dan ahli menunggang kuda serta menggunakan senjata cemeti. Dalam karangannya De Sadeng oorlog en de myte van groot Majapahit, Prof CC Berg menyamakan Sadeng tersebut dengan daerah Bali, seandainyq di Bali terdapat daerah bernama Sadeng dan Keta maka penyamaan tersebut akan mudah di pahami. </div><div align="justify"><br />Namun di daerah Bali tidak ada tempat yang bernama Sadeng maupun Keta. Prof CC Berg beranggapan bahwa kata Sadeng adalah kata wangsalan yang maksudnya Bali. Kata Sadeng berasal dari kata sedeng yang artinya lain atau beda. Kata beda hampir sama dengan kata Bada yaitu suatu kerajaan yang bernama Badahulu di daerah Bali. Sedangkan Keta dihubungkan dengan Kuta yaitu suatu daerah yang terdapat di Pulau Bali bagian selatan. Penyebutan dengan nama samaran yang demikian dimaksudkan untuk menyelubugi nama kota yang sebenarnya dimana hal tersebut berkaitan dengan adanya persekutuan Nusantara sejak jaman pemerintahan Prabu Kertanagara dari Singhasari.<br /><br />Kemenangan atas keta dan Sadeng memberikan kesadaran bahwa kekuatan Majapahit telah pulih kembali dan cita cita untuk mewujudkan politik Nusantara harus kembali diwujudkan. Setelah pulang dari penumpasan Sadeng, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Angabehi dan tidak beberapa lama kemudian diangkat menjadi Patih Amangku bumi sedangkan Ra Kembar diangkat menjadi Bengkel Araraman.<br /><br /><br /><strong>· Sumpah PalapaPatih Gajah Mada<br /></strong><br />Peristiwa penting berikutnya dalam pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334.<br /><br />Program politik Gajah Mada pada hakekatnya adalah kelanjutan gagasan Nusantara pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara sehingga lebih tepat disebut gagasan Nusantara II yaitu usaha untuk menyatukan kembali Negara Negara diseberang lautan yang lepas kembali pada masa pemerintahan prabu Kertarajasa dan Jayanagara ditambah dengan Negara Negara Nusantara lainnya. Oleh karena luasnya program Nusantara II ini banyak para menteri yang tidak bisa memahami bahkan malah mengejek, sehingga untuk mewujudkan gagasannya tersebut maka perintang perintang tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu. Demikianlah akhirnya terjadi perubahan susunan menteri secara besar besaran pada masa awal kepemimpinan patih Gajah Mada dalam pemerintahan. </div><div align="justify"><br />Wilayah Kerajaan Majapahit sebelum tahun 1334 hanya meliputi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari Kitab Nagarakertagama diketahui pelaksanaan program politik Nusantara dimulai dengan penyerangan terhadap Pulau Bali, serangan tersebut terjadi pada tahun saka 1265 atau Tahun tahun 1343 Masehi.<br /><br /><br /><strong>Wafatnya Tribhuwana Wijaya Tunggadewi </strong></div><div align="justify"><br />Tribhuwana Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan Prasasti Singasari). Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.<br />Tidak diketahui dengan pasti kapan tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371. </div><div align="justify"><br />Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih dan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa, yang terletak di desa Japan. </div><div align="center"><br /></div><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360698573447043938" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 205px; CURSOR: hand; HEIGHT: 151px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhT-r8fnUxkQG_SkEpTti_96peFZ2hWMOXVJaQg_hp4280GEdaqC9yK949xucobOP8hSZo7xQ5KVX5hM80OrMGwmOY_o9VOv3vQIP9T7Zq0sjf_aPK1zJXpYQt0CyCUJeRSdPfS5KF3t13P/s320/upas2.jpg" border="0" /><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360698570320473442" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 206px; CURSOR: hand; HEIGHT: 131px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhymlr-GLU9PA-w-ldbyG-5r4uxIVNuNjwQsYg0trvrnx9FLb8F6YuZGplUv_lKzTtoCaQgWMfrx_5843mg0bR8ufKuAOpW04lZozcL23g-4HsN7wzjQw_og7cKy9WBoN0_d_vId__AgHAt/s320/upas.jpg" border="0" /> <p align="center"><br /><em><span style="font-size:85%;color:#660000;">Reruntuhan Sumur Upas</span></em></p>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-26949561111153705582009-07-15T19:05:00.000-07:002009-07-20T17:04:07.660-07:00JAYANAGARA<div align="justify"><strong>1. JAYANAGARA / Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. ( 1309-1328)<br /></strong><br /><br />Jayanagara adalah raja kedua Majapahit yang memerintah tahun 1309-1328. Dari prasasti Sidateka (1323) diketahui ia bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9dBEi1ubxLFwozDcSu8O941adO8K1mACECfz6_Tio64Im0yx0MK8OPZJIWqRDlJFmuOdDEvJ908i-eWfi7nQabpwvtzCuXboBx7gJNaDLb_AplnjC5J-1zAOaJyfY-6SPEkj_4Jlyhw7H/s1600-h/Relief+raja.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360694360009919346" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 248px; CURSOR: hand; HEIGHT: 160px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9dBEi1ubxLFwozDcSu8O941adO8K1mACECfz6_Tio64Im0yx0MK8OPZJIWqRDlJFmuOdDEvJ908i-eWfi7nQabpwvtzCuXboBx7gJNaDLb_AplnjC5J-1zAOaJyfY-6SPEkj_4Jlyhw7H/s320/Relief+raja.jpg" border="0" /></a>Dalam prasasti Kertarajasa (1305), Jayanegara disebut sebagai putra Tribhuwaneswari permaisuri utama Raden Wijaya. Dari berita tersebut dapat diperkirakan Jayanegara adalah anak kandung Indreswari alias Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari, sehingga ia dapat menjadi putra mahkota sebagai calon raja selanjutnya.<br /></div><br /><div align="justify">Raden Wijaya x Dara Petak<br /><br />Jaya Negara<br /><br />Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet. Ibunya berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol. Raden Wijaya, yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Istri Tinuheng Pura, atau istri yang dituakan. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari Dinasty Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Sehingga, jika berita Pararaton benar, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak diperkirakan terjadi tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara diperkirakan terjadi tahun 1294. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam Prasasti Penaggungan (1296). Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak tahun 1294, berarti saat itu Jayanagara masih sangat kecil. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan menjabat sebagai patih Kadiri. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut artinya jahat dan lemah.<br /><br /><strong></strong></div><div align="justify"><strong>Masa Pemerintahan Jayanagara</strong></div><br /><div align="justify">Pada masa Jayanagara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Sidateka tahun 1323. </div><br /><div align="justify">1. Mahamentri Katrini<br />· Rakyan Menteri Hino : Dyah Sri Rangganata<br />· Rakyan Menteri Halu : Dyah Kameswara<br />· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Wiswanata<br /></div><br /><div align="justify">2. Sang Panca Wilwatika<br />· Rakyan Patih Majapahit : Dyah halayudha (Mahapati)<br />· Rakyan Demung : Pu Samaya<br />· Rakyan Kanuruhan : Pu Anekakan<br />· Rakyan Rangga : Pu Jalu<br />· Rakyan Tumenggung : -<br /></div><br /><div align="justify"></div><br /><div align="justify"><strong>Peristiwa penting dalam masa pemerintahan Prabu Jayanagara<br /></strong></div><br /><div align="justify">Pada Pemerintahan Jayanegara seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara adalah raja berdarah campuran, bukan keturunan Kertanagara murni. Peristiwa Pemberontakan tersebut sampai akhirnya merenggut nyawanya sendiri. Perisriwa – peristiwa pemberontakan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : </div><br /><div align="justify"><br /><strong>· Peristiwa Nambi (1316) / Rakryan Patih Mpu Tambi<br /></strong><br />Nambi / Mpu Nambi adalah pemegang jabatan rakryan patih pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit, yang gugur sebagai korban fitnah pada tahun 1316. Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama mengisahkan Nambi adalah salah satu abdi Raden Wijaya yang ikut mengungsi ke tempat Arya Wiraraja di Sumenep ketika Singhasari runtuh tahun 1292. Menurut Pararaton, pada saat Raden Wijaya menyerang Kadiri tahun 1293, Nambi berjasa membunuh Kebo Rubuh.<br /><a name="Jabatan_Nambi"></a>Pararaton mengisahkan setelah kemenangan Majapahit tahun 1293, Nambi diangkat sebagai patih Amangkubumi. Berita ini diperkuat oleh Prasasti Kudadu (1294) dan Prasasti Penanggungan (1296) yang menyebut nama Rakryan Patih Mpu Tambi dalam daftar pejabat Majapahit. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Menurut Kidung Ranggalawe, pengangkatan Nambi inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Ranggalawe di Tuban tahun 1295. Ranggalawe merasa tidak puas atas keputusan tersebut karena Nambi dianggap kurang berjasa dalam peperangan. Atas izin Raden Wijaya, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit menyerang Tuban. Dalam perang itu, Ranggalawe mati dibunuh Kebo Anabrang. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Kematian Nambi terjadi tahun 1316 yang disinggung dalam Nagarakretagama dan Pararaton, serta diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Dikisahkan Nambi masih menjadi patih pada masa pemerintahan Jayanegara (putra Raden Wijaya). Saat itu ada tokoh licik bernama Mahapati yang mengincar jabatan patih. Ia selalu berusaha menciptakan ketegangan antara Jayanegara dan Nambi. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Suatu hari Mahapati mengunjungi Nambi dan memberitahu bahwa sang Prabu tidak senang kepadanya, untuk menghindari kesalahpahaman maka Mahapati menyarankan agar Nambi untuk sementara waktu meninggalkan Majapahit pulang ke Lumajang. Kebetulan Nambi mendengar berita bahwa ayahnya, Pranaraja sedang sakit keras. Nambi pun minta ijin kepada Prabu Jayanegara untuk pulang ke Lumajang untuk menengok ayahnya tersebut. Nambi diizinkan pulang, ketika sampai di Ganding ia bertemu dengan utusan ayahnya, oleh utusan ayahnya Nambi kemudian diantar pulang. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Tidak beberapa lama ayah Nambi pun meninggal, Sang Prabu yang mendengar kabar tersebut kemudian mengutus Mahapati, Pawagal, Pamandana, Eban, Lasem dan Jaran Lejong untuk pergi ke Lumajang melayat menyampaikan ucapan duka cita dari Raja. Selama tinggal di Lumajang Mahapati terus menghasut Patih Nambi untuk tinggal lebih lama di Lumajang karena masih dalam suasana duka. Nambi kemudian minta ijin untuk tinggal lebih lama di Lumajang kepada raja dengan perantaraan Mahapati. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Akan tetapi dihadapan raja, Mahapati menyampaikan berita bohong bahwa Nambi menolak kembali ke ibu kota dan sedang mempersiapkan untuk melaksanakan pemberontakan. Dikatakan pula bahwa para Menteri yang melayat ke Lumajang tanpa Izin sang prabu sesungguhnya mempunyai maksud untuk bersekutu dengan Nambi untuk melaksanakan pemberontakan. Jayanegara termakan hasutan. Ia pun mengirim pasukan dipimpin Mahapati untuk menumpas Nambi.Diantara Menteri Majapahit banyak yang memihak Nambi diantaranya Pamandana, Mahisa Pawaga,, Panji Anengah, Panji Samara, Panji Wiranagari, Jaran Bangkal, Jangkung, Teguh, Semi, Lasem dan Patih Emban. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Yang masih setia kepada sang prabu hanya Lembu Peteng, Ikal Ikalan bang dan Jambung Tarewes. Arya Wiraraja yang telah memisahkan diri dari Majapahit karena kematian putranya Ranggalawe terbukti ikut serta bergabung dengan Nambi. Dapat diperkirakan setelah kematian Ranggalawe tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia kemudian mendapatkan daerah Lumajang sesuai janji Raden Wijaya saat perjuangan. Adapun Pranaraja Mpu Sina diperkirakan juga berasal dari Lumajang. Sesudah pensiun, ia kembali ke Lumajang sampai akhir hayatnya tahun 1316. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Selain itu dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe disebutkan kalau Arya Wiraraja adalah ayah dari Ranggalawe alias Arya Adikara, saingan politik Nambi. Versi ini didukung oleh Prasasti Kudadu (1294) yang menyebut adanya nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja dalam daftar pejabat Majapahit, namun keduanya tidak ditemukan lagi dalam Prasasti Penanggungan (1296), sedangkan nama Pranaraja Mpu Sina masih dijumpai.<br /></div><div align="justify">Sementara itu pasukan Majapahit dipersiapkan untuk mengadakan penyerbuan ke Lumajang, Mahapati memegang siasat perang. Benteng pertahan Pejarakan harus di serang terlebih dahulu kemudian Ganding. Dari sini prajurit Majapahit mengepung Lumajang. Siasat tersebut dijalankan dan terbukti berhasil dalam pertempuran. Nambi tidak menduga datangnya serangan kemudian membangun benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan. Namun keduanya dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga pun tewas pula dalam peperangan itu. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Pararaton menyebutkan Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di desa Rabut Buhayabang, karena dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sedangkan menurut Nagarakretagama yang memimpin penumpasan Nambi bukan Mahapati, melainkan langsung oleh Jayanegara sendiri. </div><br /><div align="justify"></div><div align="justify">Nama ayah Nambi dalam Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. bergelar Rakryan Mantri Pranaraja Mpu Sina. Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam Pararaton mendapat dukungan Nagarakretagama. </div><div align="justify"><br /><br /><strong>· Peristiwa Aria Wiraraja / Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka<br /></strong></div><div align="justify">Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari, namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi Bupati di Sumenep Madura. </div><br /><div align="justify">Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang Bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Prabu Kertajaya raja terakhir Kediri yang digulingkan oleh Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel atau Singhasari. Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa. Maka pada tahun 1292, terjadilah serangan pasukan Gelang-Gelang terhadap ibu kota Singhasari. Kertanagara tewas di istana. Jayakatwang lalu membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kadiri dan menjadi raja di sana. </div><br /><div align="justify">Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengungsi ke Sumenep meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja. </div><br /><div align="justify">Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan Tarik Tarik Sidoarjo menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya. </div><br /><div align="justify">Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu memerdekakan diri dari Jayakatwang. </div><br /><div align="justify">Maka bergabunglah pasukan Mongol dan Majapahit menyerbu ibu kota Kadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa.<a name="Jabatan_Aria_Wiraraja_di_Majapahit"></a> Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari Prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada Prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai.Penyebabnya ialah pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang.<br /></div><br /><div align="justify"><strong>Akhir Kemerdekaan Majapahit Timur<br /></strong></div><br /><div align="justify">Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi pemberontakan Nambi di Lumajang terhadap Jayanagara raja kedua Majapahit. Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Tidak diketahui dengan pasti apakah Wiraraja masih hidup pada tahun 1316. Yang jelas, setelah kekalahan Nambi, daerah Lumajang kembali bersatu dengan Majapahit bagian barat. Ini berarti penguasa Majapahit Timur saat itu (entah Wiraraja atau penggantinya) bergabung dengan Nambi dan terbunuh oleh serangan pasukan Majapahit Barat. </div><div align="justify"><br /><br /><strong>· Pemberontakan Ra Semi (1316) </strong></div><br /><div align="justify">Ra Semi adalah salah seorang pembesar di kerajaan Majapahit pada jaman pemerintahan Prabu Kertarajasa (Raden Wijaya) dengan gelar Rakrian semi. Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 Pranaraja ayah Patih Nambi meninggal dunia di Lumajang. Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa di mana Nambi difitnah memberontak oleh Mahapati.<br /><br />Jayanagara (raja Majapahit) mengirim pasukan untuk menghukum Nambi Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Semi masih berada di Lumajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia bergabung membela Nambi . Dikisahkan Nambi kemudian terbunuh beserta seluruh pendukungnya. </div><br /><div align="justify">Ra semi berhasil meloloskan diri dari kejaran Pasukan majapahit dan bergabung dengan Kuti. Pararaton menyebutkan Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit tahun 1318. Ini berarti ia lolos dari maut tahun 1316 dan menjadi pelarian. </div><div align="justify"><br />Ia melakukan perlawanan terhadap Jayanagara dan Mahapati (yang diangkat sebagai patih baru menggantikan Nambi). Pemberontakan tersebut berpusat di daerah Lasem dan Rembang. Akhirnya pemberontakan ini dapat dipadamkan dengan kematian Ra Semi.<br /><br /><br /><strong>· Pemberontakan Ra Kuti (1319)<br /><br /></strong>Pararaton selanjutnya mengisahkan adanya pemberontakan para Dharmaputra yang dipimpin Ra Kuti tahun 1319. Pemberontakan ini terjadi langsung di ibu kota Majapahit dan jauh lebih berbahaya dibanding pemberontakan Semi.<br /><br />Prabu Jayanagara mempunyai 7 orang Dharmaputra yakni pengalasan atau abdi dalem wineh suka yang diberi kekuasaan atau agak diistimewakan. Mereka adalah Ra Kuti, Ra Semi, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Tanca, Ra Juju dan Ra Banyak. Mereka mengadakan komplotan untuk membunuh Prabu Jayanegara. Ra Kuti, Ra Tanca, Ra Banyak, Ra Wedeng, dan Ra Yuyu pada mulanya adalah prajurit-prajurit yang dianggap berjasa kepada negara. Oleh karenanya sang prabu Jayanegara memberikan gelar kehormatan berupa Dharmaputra Winehsuka kepada kelima prajurit tersebut. Entah oleh sebab apa, mereka, dipimpin oleh Ra Kuti melakukan makar mengajak pimpinan pasukan Jala Rananggana untuk melakukan pemberontakan terhadap istana.<br /><br />Komplotan itu telah merencanakan ketika Prabu Jayanegara sedang menumpas pemberontakan Nambi dan Arya Wiraraja. Ia menyerang sang prabu namun serangan itu tidak berhasil, malam harinya Gajah Mada, pada waktu itu masih menjadi seorang prajurit berpangkat bekel. Pangkat bekel dalam keperajuritan pada saat itu setingkat lebih tinggi dari lurah prajurit, namun masih setingkat lebih rendah dari Senopati. Pangkat di atas senopati adalah tumenggung, yang merupakan pangkat tertinggi. </div><br /><div align="justify">Gajah Mada membawahi satu kesatuan pasukan setingkat kompi yang bertugas menjaga keamanan istana. Nama pasukan ini adalah Bhayangkara. Jumlahnya tidak lebih dari 100 orang, namun pasukan Bhayangkara ini adalah pasukan khusus yang memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit dari kesatuan mana pun. Pada waktu itu Majapahit memiliki tiga kesatuan pasukan setingkat divisi yang dinamakan Jala Yudha, Jala Pati, dan Jala Rananggana. Masing-masing kesatuan dipimpin oleh perwira yang berpangkat tumenggung.<br /><br />Gajah Mada segera melakukan langkah koordinasi kekuatan terhadap tiga kesatuan pasukan utama Majapahit dengan cara menghubungi masing-masing pimpinannya. Tidak mudah bagi seorang bekel untuk bisa melakukan hal ini karena ia harus bisa menemui para Tumenggung yang berpangkat dua tingkat di atasnya. Namun, Arya Tadah yang tanggap akan adanya bahaya, telah membekali Gajah Mada dengan lencana kepatihan, sebuah tanda bahwa Gajah Mada mewakili dirinya dalam melaksanakan tugas tersebut. </div><br /><div align="justify">Dua dari tiga pimpinan pasukan berhasil dihubungi. Namun keduanya menyatakan sikap yang berlainan. Pasukan Jala Yudha bersikap mendukung istana, sedangkan pasukan Jala Pati memilih bersikap netral. Pimpinan pasukan Jala Rananggana tidak berhasil ditemui karena pada saat itu kesatuan pasukan tersebut telah mempersiapkan diri di suatu tempat yang cukup jauh dari istana untuk mengadakan serangan dadakan keesokan harinya. </div><br /><div align="justify">Yang selanjutnya terjadi adalah perang besar yang melibatkan ketiga kesatuan utama pasukan Majapahit. Akhirnya peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak pemberontak, dan memaksa sang Prabu Jayanegara mengungi ke luar istana dibawah pengawalan Gajah Mada menuju desa Balander dengan diiringi oleh 15 prajurit bhayangkara. Lama mereka tinggal di pengungsian di rumah kepala desa balander sehingga ada salah seorang pengalasan yang minta izin untuk pulang ke Majapahit, tetapi bengkel Gajah Mada menolaknya karena takut nantinya persembunyian ini akan diketahui pihak musuh. Akhirnya karena pengalasan tersebut bersikeras untuk pulang bengkel Gajah Mada terpaksa membunuhnya.<br /><br />Lima hari setelah peristiwa tersebut bengkel Gajah Mada pamit kepada prabu Jayanegara untuk berangkat sendiri ke Majapahit. Sampai di Kota bengkel Gajah Mada kemudian mengunjungi rumah Tumenggung Amancanegara (wali kota) Majapahit secara diam diam. Gajah Mada mengabarkan kalau Jayanagara telah meninggal di pengungsian dibunuh oleh pengikut Ra Kuti. Mendengar berita tersebut semua orang menangis, Gajah Mada kemudian berkata<br /><br /><em><span style="color:#000099;">“ diamlah bukanlah kalian semua memang ingin mengabdi kepada Ra Kuti ? Jawab yang ditanya “ apa katamu, dia bukanlah tuan kita “.<br /></span></em><br />Dari hasil pembicaraan tersebut tahulah Gajah Mada bahwa pembesar dan warga kota tidak suka kepada pemberontakan Ra-Kuti dan masih menginginkan Prabu Jayanegara sebagai Raja Majapahit. Gajah Mada kemudian memberitahukan bahwa sebenarnya prabu Jayanegara masih hidup dan meminta kesanggupan para pembesar dan warga Majapahit unruk menumpas pemberontakan Ra-Kuti . Akhirnya berkat bantuan pembesar Istana dan rakyat Majapahit pemberontakan Ra-Kuti berhasil dipadamkan .<br /><br />Gajah Mada beserta Prabu Jayanegara dan prajurit bhayangkara akhirnya kembali ke Majapahit. Karena jasanya Gajah Mada kemudian diangkat sebagai Patih Kahuripan oleh Prabu Jayanegara. Dua tahun kemudian ketika patih Daha Arya Tilam wafat maka Gajah Mada menggantikan kedudukannya sebagai Patih Daha<br /><br /><br /><a name="Peristiwa_Ra_Tanca"></a><strong>§ Peristiwa Ra Tanca (1328) Kematian Jayanagara </strong></div><br /><div align="justify">Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa pemberontakan Ra-Kuti tahun 1319. Dikisahkan pada tahun 1328 Tanca menemui Gajah Mada untuk menyampaikan keluhan istrinya. Istri Tanca mendengar berita kalau Jayanagara melarang kedua adik lain ibu, yaitu Dyah Tribhuwana Tunggadewi dan Mahadewi/ Dyah Wijat putri dari Gayatri untuk menikah. Konon Jayanagara sendiri berniat mengawini kedua adiknya itu. Ra-Tanca meminta agar Gajah Mada , yang saat itu menjadi abdi kesayangan Jayanagara supaya mengambil tindakan pencegahan. Namun Gajah Mada tampak tidak peduli pada laporan Ra-Tanca sehingga Ra-Tanca merasa tersinggung dibuatnya. </div><br /><div align="justify">Tanca adalah ahli pengobatan istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul Jayanagara . Di dalam kamar hanya ada Ra-Tanca, Raja, dan Gajah Mada. Usai melakukan terapi pembedahan, tiba-tiba Tanca menusuk Jayanagara sampai tewas. Seketika itu pula Gajah Mada ganti membunuh Tanca. Peristiwa itu terjadi tahun 1328. Menurut Pararaton Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan. Sedangkan menurut Nagarakretagama Jayanagara dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Ia dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amogasidi, dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali..<br /><br />Perbuatan Gajah Mada membunuh Tanca tanpa pengadilan menimbulkan kecurigaan. Slamet Kuljana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan (1965), menyimpulkan kalau dalang pembunuhan Jayanagara sesungguhnya adalah Gajah Mada sendiri. Menurut Pararaton saat itu Gajah Mada menjabat sebagai patih Daha, di mana rajanya adalah Dyah Wijat. Meskipun ia dekat dengan Jayanagara , ia pastinya lebih dekat dengan Dyah Wijat. Ia sengaja memancing amarah Ra-Tanca dengan pura-pura tidak peduli supaya Ra-Tanca sendiri yang mengambil tindakan. Siasat Gajah Mada ini berhasil. Tanca membunuh raja, dan ia sendiri kemudian dibunuh Gajah Mada . Dengan demikian, Gajah Mada berhasil menyelamatkan Dyah Wijat dari nafsu buruk Jayanagara tanpa harus mengotori tangannya dengan darah sang raja.<br /><br />Pemberontakan Kuti dan Ratanca pada hakekatnya adalah suatu tidak kepuasan punggawa terhadap pemerintahan prabu Jayanegara dan pembunuhan Prabu Jayanegara oleh Ratanca berarti pembebasan Tribhuwanatunggadewi dan Mahadewi dari belenggu cengkraman Prabu Jayanegara. </div><br /><div align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFopgnu3Vv2bISpwNaYo41UgwzImtAVrNbfC0oip7al_uyQW8xQcPBYIgHKTcBLwkSMsu50gyHwnLXjwGINtGj_6lP62isOneNWtii6Qazl7WQ_Mbsdy4xX0YTL7KWDS78cUHYV53kuTvy/s1600-h/bajang+ratu.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5360696160929615106" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 239px; CURSOR: hand; HEIGHT: 306px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFopgnu3Vv2bISpwNaYo41UgwzImtAVrNbfC0oip7al_uyQW8xQcPBYIgHKTcBLwkSMsu50gyHwnLXjwGINtGj_6lP62isOneNWtii6Qazl7WQ_Mbsdy4xX0YTL7KWDS78cUHYV53kuTvy/s320/bajang+ratu.jpg" border="0" /></a>Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Pengganti selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama BhreKahuripan yang mewakili ibunya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360). Raja Jayanagara yang terbunuh tahun 1328 diungkapkan Pararaton dengan istilah Mokta ring pagulingan (‘mangkat di tempat tidur’). </div><br /><div align="justify"><br /><span style="font-size:78%;color:#660000;"><strong><em>Candi Bajang Ratu untuk menghormati Prabu Jayanagara</em></strong></span></div>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2446635043973281242.post-66578782617252855352009-07-15T19:01:00.000-07:002009-07-20T16:44:27.081-07:00RADEN WIJAYARAJA RAJA MAJAPAHIT<br /><br />Raden Wijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol dari tanah Jawa.. Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.<br /><ol><br /><li><div align="justify">Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)</div></li><li><div align="justify">Kalagamet, bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)</div></li><li><div align="justify">Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)</div></li><li><div align="justify">Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)</div></li><li><div align="justify">Wikramawardhana (1389 - 1429)</div></li><li><div align="justify">Suhita (1429 - 1447)</div></li><li><div align="justify">Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)</div></li><li><div align="justify">Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)</div></li><li><div align="justify">Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)</div></li><li><div align="justify">Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)</div></li><li><div align="justify">Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)</div></li><li><div align="justify">Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)</div></li><li><div align="justify">Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518</div></li></ol><br /><div align="justify">Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.</div><br /><div align="justify"></div><br /><p align="justify"></p><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359212808855748530" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 373px; CURSOR: hand; HEIGHT: 400px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOFRy9RJuOcyWnwBc7RAyJruMElfR258icozWMSarpHz1BxkMF3i3BIUoHg_s6zZRRexa-gjZWGXOC0nxTSJN9ICrZidsybS5PhHejfzJoRr5RveHPWX7yIWFdqdJFBw5ghluvxtlfGWx6/s400/SILSILAH.jpg" border="0" /><br /><br /><div align="justify">Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit adalah yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.<br /><br />Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (Kitab Raja-raja) dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuna. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok pendiri Kerajaan Singhasari namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.<br /><br />Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuna yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuna maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.<br /><br />Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut pertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Namun demikian, garis besar sumber-sumber tersebut sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok. Khususnya, daftar penguasa dan keadaan kerajaan ini tampak cukup pasti.<br /><br /></div><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359272858737460530" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 246px; CURSOR: hand; HEIGHT: 320px; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhKoEIMqi4CIfo0kdmr0gTHDsdIgSxPu7Xl-gPh93njnVwJbIfVwEYwLs_lL9vcAt76xnekKO4X2B2CB9tOUG5jTlXCMbe_W3094Nqhcxd2KPM20NptbzoYgHeyPhyphenhyphenPm600ySX9Yfwo27n/s320/GAPURA+WRINGIN.jpg" border="0" /><br /><br /><p align="center"><em><span style="font-size:85%;color:#990000;">Gapura Bajangratu, diduga kuat menjadi gerbang<br />masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri<br />di kompleks Trowulan.</span></em></p><br /><br /><p align="justify"><strong><span style="color:#660000;">1. RADEN WIJAYA/ ŚRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA<br />(1293 - 1309)<br /></span></strong><br />Raden Wijaya adalah Pendiri sekaligus Raja Majapahit yang pertama. Raden Wijaya dinobatkan pada bulan Kartika tahun 1215 saka, yaitu 12 Nopember 1293 dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya menurut Kidung Harsa Wijaya. </p><br /><p align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTNisR16ARfrr0Oy9DgwAVP4a0oU7ijwjcYfGEwIUOLbs0NJuSTQHO7IfMCpQZjNWKcXZuMUdXaDHLwiXGKivnQlKhDYztOjAkjZ0AYF-1ZqBiXNl9UrTx1cXLpHMfZODUmHjKDfIAgITu/s1600-h/raden+wijaya.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359341777361611874" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 161px; CURSOR: hand; HEIGHT: 189px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTNisR16ARfrr0Oy9DgwAVP4a0oU7ijwjcYfGEwIUOLbs0NJuSTQHO7IfMCpQZjNWKcXZuMUdXaDHLwiXGKivnQlKhDYztOjAkjZ0AYF-1ZqBiXNl9UrTx1cXLpHMfZODUmHjKDfIAgITu/s320/raden+wijaya.jpg" border="0" /></a>Raden Wijaya adalah anak dari Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan Sunda Galuh , dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan demikian, Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari Wangsa Rajasa, yaitu dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Ken Arok, Raja pertama Singhasari (1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes. Mahesa Wong Ateleng memiliki anak Mahesa Cempaka yang bergelar Narasinghamurti. Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.<br /><br />Ibukota kerajaan Majapahit meliputi Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di Kabupaten Jombang. Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer persegi. ,namun, ada versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di Trowulan. Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri kerajaan. </p><br /><p align="justify">Rakeyan Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda Galuh, anak dari Prabu Guru Dharmadiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda Galuh. Setelah Rakeyan Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang bawahannya, Dyah Lembu Tal kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari Pajajaran. Ia dibesarkan di lingkungan kerajaan Singhasari. </p><p align="justify">Menurut prasasti dan Kakawin Nagarakretagama disebutkan bahwa Raden Wijaya memperistri empat orang putri raja Kertanegara dengan gelar sebagai berikut : </p><ol><li><div align="left">Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari. </div></li><li><div align="left">Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā. </div></li><li><div align="left">Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā</div></li><li><div align="left">Sri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri.<br /></div></li></ol><p align="justify"><strong><span style="color:#000099;">1. Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari<br /></span></strong><br />Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari adalah permaisuri Raden Wijaya .Dalam Nagarakretagama nama Tribhuwaneswari sering disingkat Tribhuwana. Ia adalah putri sulung Kertanagara raja terakhir Singhasari. Dikisahkan pada saat Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari, sedangkan Gayatri ditawan musuh. Rombongan Raden Wijaya kemudian menyeberang ke Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan menuju Sumenep, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia Raden Wijaya Raden Wijaya. Jika pasangan suami istri tersebut letih, Lembu Sora menyediakan perutnya sebagai alas duduk. Jika menyeberang rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri menggendong Tribhuwana.<br /><br />Raden Wijaya kemudian bersekutu dengan Arya Wiraraja untuk menjatuhkan Jayakatwang. Ketika Raden Wijaya berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah pada Jayakatwang, Tribhuwana ditinggal di Sumenep. Baru setelah Raden Wijaya mendapatkan hutan Terik untuk dibuka menjadi desa Majapahit , Tribhuwana datang dengan diantar Ranggalawe putra Arya Wiraraja. Berita ini terdapat dalam Kidung Panji Wijayakarama. </p><br /><p align="justify">Sepeninggal pasukan Mongol tahun 1293, Kerajaan Majapahit berdiri dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama. Tribhuwana tentu saja menjadi permaisuri utama, ditinjau dari gelarnya yaitu Tribhuwana-iswari. Namun demikian, Pararaton menyebutkan, istri Raden Wijaya yang <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw5SQiMipBYMHzg0UT4xCh8llU5U5n-Cvo51LKbAzg1dOV-7n0DX3cqn88YuRPr45TIejGP1YB6petFJQZi0d7JqTAurNthhqElE6oSLiZZgxx0W9q7fKifg5QhOk3tNwt3_c8DyYPZZnI/s1600-h/RIMBI2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359279650054368962" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 294px; CURSOR: hand; HEIGHT: 240px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw5SQiMipBYMHzg0UT4xCh8llU5U5n-Cvo51LKbAzg1dOV-7n0DX3cqn88YuRPr45TIejGP1YB6petFJQZi0d7JqTAurNthhqElE6oSLiZZgxx0W9q7fKifg5QhOk3tNwt3_c8DyYPZZnI/s320/RIMBI2.jpg" border="0" /></a>dituakan di istana bernama Dara Petak putri dari Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan Jayanagara sang putra Mahkota.<span style="font-size:0;"></span>Menurut prasasti Kertarajasa (1305), Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara. </p><br /><p align="justify">Dari berita tersebut dapat diperkirakan Jayanagara adalah anak kandung Dara Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang permaisuri utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat hak atas takhta sehingga kemudian menjadi raja kedua Majapahit tahun 1309-1328<br /></p><p align="justify"><em><span style="font-size:78%;color:#993300;">Candi Rimbi</span></em></p><p align="justify">Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.<br /><br /><br /><strong><span style="color:#000099;">2. Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.<br /></span></strong><br />Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, atau disebut dengan Narendraduhita, adalah putri ketiga dari Raja Singhasari Kertanagara, dan merupakan istri kedua dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan.<br /><br /><strong><span style="color:#000099;">3. Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita<br /><br /></span></strong>Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau sering disingkat dengan nama Prajña Paramita atau Pradnya Paramita adalah putri keempat dari Raja Kertanegara dan merupakan istri ketiga dari Raden Wijaya, namun tidak memberikan keturunan. Disebutkan bahwa Pradjnya Paramita adalah istri yang paling setia diantara kelima istri Raden Wijaya<br /><br /><strong><span style="color:#000099;">4. Śri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri. Gayatri<br /></span></strong><br />Gayatri atau Rajapatni adalah istri ke empat dari Raden Wijaya, dari Gayatri lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanatunggadewi inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya. Pada saat Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari saja, sedangkan Gayatri ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGo2ejUPQnBQt0rptkJ728jvbBBrM0WqDrcMGwtUxqgpWmx17J3D0Gpo3jCCw5XNIroLFpWsBvT1yN8L52jwuZV_FRIVfl1SEbMCI5N5f6_GCbp6lXVLpZWoaAgtgRg9y4ptIWzt0Tbn6T/s1600-h/GAYATRI.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359282477746224434" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 275px; CURSOR: hand; HEIGHT: 195px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGo2ejUPQnBQt0rptkJ728jvbBBrM0WqDrcMGwtUxqgpWmx17J3D0Gpo3jCCw5XNIroLFpWsBvT1yN8L52jwuZV_FRIVfl1SEbMCI5N5f6_GCbp6lXVLpZWoaAgtgRg9y4ptIWzt0Tbn6T/s320/GAYATRI.jpg" border="0" /></a>Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali. </p><br /><p align="justify">Dalam Nagarakretagama pupuh 2/1 menguraikan bahwa putri Gayatri (Rajapatni) wafat pada tahun 1350 pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. 12 tahun setelah meninggalnya Gayatri dilaksanakan upacara srada dan dimuliakan candi di candi Boyolangu di desa Kamal Pandak tahun 1362 dengan nama Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkati oleh pendeta Jnyanawidi.<br /><em><span style="font-size:85%;color:#660000;"></span></em></p><br /><p align="justify"><em><span style="font-size:78%;color:#660000;">Candi Boyolangu</span></em></p><br /><p align="justify"><em><span style="font-size:78%;color:#660000;"></span></em><br /><strong><span style="color:#000099;">5. Dara Pethak (Indreswari) </span></strong></p><br /><p align="justify">Menurut Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra. Pasukan tersebut membawa dua orang putri Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya bernama Dara Jingga dan Dara Petak sebagai persembahan untuk Kertanegara. </p><br /><p align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxEXoNA89Yc5yM4bo_5O6GlUkVMZhqRO3STTcpQ0wBgUGEXGNfj3xOJatcNJtetxr4K7EFILsoOxy0mEJZOO8FlqHBkeAOR4QFCQwf1-wChtATlVy9kPovz1OAkBI7NHtEeNqmoqR8c3EB/s1600-h/DARA+PETAK.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359341767251782674" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 225px; CURSOR: hand; HEIGHT: 266px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxEXoNA89Yc5yM4bo_5O6GlUkVMZhqRO3STTcpQ0wBgUGEXGNfj3xOJatcNJtetxr4K7EFILsoOxy0mEJZOO8FlqHBkeAOR4QFCQwf1-wChtATlVy9kPovz1OAkBI7NHtEeNqmoqR8c3EB/s320/DARA+PETAK.jpg" border="0" /></a>Nama Dara Pethak berarti merpati putih. Menurut Kronik Cina, pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi tanggal 4 Mei 1293. Karena Kertanegara sudah meninggal, maka ahli warisnya, yaitu Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri, sedang Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma (kebo Anabrang), seorang pejabat Singhasari yang dulu dikirim ke Sumatra tahun 1286.</p><br /><p align="justify">Dara Petak pandai mengambil hati Raden Wijaya sehingga ia dijadikan sebagai Istri tinuheng pura, atau istri yang dituakan di istana. Padahal menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri, dan semuanya adalah putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri tertua mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan menurut Nagarakretagama, ibu Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar resmi Dara Petak. </p><br /><p align="justify">Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya, Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan Pusparasmi.<br /></p><br /><p align="justify"><strong><span style="color:#000099;">Masa Pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawardhana </span></strong></p><br /><p align="justify">Setelah Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, beliau kemudian mengangkat pengikut-pengikutnya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Majapahit menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan menurut Serat Kekancingan Kadadu 1294 antara lain : </p><ul><li><div align="justify">Aria Wiraraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung diberi daerah status khusus (Madura) dan diberi wilayah otonom di Lumajang hingga Blambangan.</div></li><li><div align="justify">Nambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih (Perdana menteri), </div></li><li><div align="justify">Ranggalawe menjadi Rakyan Mahamantri Agung diangkat sebagai Adipati Tuban,</div></li><li><div align="justify">Sora menjadi patih Daha (Kadiri). </div></li></ul><br /><p align="justify">Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam penanggungan tahun 1296.<br /></p><br /><ol><br /><li><strong>Mahamentri Katrini<br /></strong>· Rakyan Menteri Hino : Dyah Pamasi<br />· Rakyan Menteri Halu : Dyah Singlar<br />· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Palisir </li><br /><li><strong>Sang Panca Wilwatika<br /></strong>· Rakyan Patih Majapahit : Empu Tambi<br />· Rakyan Demung : Empu Renteng<br />· Rakyan Kanuruhan : Empu Elam<br />· Rakyan Rangga : Empu Sasi<br />· Rakyan Tumenggung : Empu Wahan </li><br /><li><strong>Patih Negara Bawahan<br /></strong>· Rakyan Patih Daha : Empu Sora<br />· Rakyan Demung Daha : Empu Rakat<br />· Rakyan Rangga Daha : Empu Dipa<br />· Rakyan Tumenggung Daha : Empu Pamor</li><br /><li><strong>Pejabat Hukum Keagamaan<br /></strong>· Pranaraja menjadi Rakyan Mahamantri Agung<br />· Dang Acarya Agraja menjadi Dharmadyaksa Kasaiwan<br />· Dang Acarya Ginantaka menjadi Dharmadyaksa Kasogatan<br />· Panji Paragata menjadi Pemegat Tirwan<br />· Dang Acarya Anggaraksa sang Pemegat di Pamotan<br />· Dang Acarya Rudra sang Pemegat di Jambi<br /></li></ol><br /><p align="justify"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4PnD5k-Bflqnz639cKpsvpAIzGAsKwMWNQY3t6-krnI0uciRRnBzymeiG2Ef0Yq_FoJHVVtSe72u98J7b6jq4-lymkNsU5Ol3mkp8biQitEM0gC3xvBonvyWtZ86_7uMjijgpQsC-siTl/s1600-h/HARIRAYA.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359341771602080370" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 189px; CURSOR: hand; HEIGHT: 268px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4PnD5k-Bflqnz639cKpsvpAIzGAsKwMWNQY3t6-krnI0uciRRnBzymeiG2Ef0Yq_FoJHVVtSe72u98J7b6jq4-lymkNsU5Ol3mkp8biQitEM0gC3xvBonvyWtZ86_7uMjijgpQsC-siTl/s320/HARIRAYA.jpg" border="0" /></a>Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.<br /><br />Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa. Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain<br /><br /><br /><span style="font-size:78%;color:#660000;"><em>Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu </em></span><span style="font-size:78%;color:#660000;"><em>sebagai penggambaran Kertarajasa</em></span></p><ul><br /><li>Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja</li><li>Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan. </li><li>Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan. </li><li>Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan </li></ul><br /><p align="justify">Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu. </p><p align="justify">Dharmaputra adalah suatu jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya Anggotanya berjumlah tujuh orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa, yang semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan Jayanegara (raja kedua Majapahit). </p><p align="justify">Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya mengatakan kalau para anggota Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya pegawai istimewa. Dikisahkan mereka diangkat oleh Taden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328. </p><p align="justify">Pada Jaman Majapahit para pegawai pemerintahan masing masing diberi gelar sesuai jabatan yang dipangkunya dengan pembagian sebagai berikut : </p><br /><p align="left"><strong>Golongan Rakyan</strong>. Para pegawai pemerintahan yang berkah menggunakan gelar rakyan diantaranya </p><ul><li>Mahamantri Katrini yang terdiri dari Mahamantri Hino, Mahamantri Sitrikan dan Mahamantri halu </li><li>Pasangguhan/ hulubalang yang terdiri dari 2 yaitu Pranaraja dan Nayapati. </li><li>Sang Panca Wilwatika yaitu lima pembesar yang diserahi tugas untuk menjalankan pemerintahan Majapahit. Terdiri dari Patih Amangkubumi, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumengggung.</li><li>Juru Pangalasan yaitu pembesar wilayah mancanagara. </li><li>Nara pati Negara Negara bawahan. </li></ul><br /><p align="justify"><strong>Golongan Arya</strong>. Golongan ini mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari Rakyan, namun karena jasa jasanya seorang arya dapat dinaikan jabatannya menjadiWreddhamantri atau Menteri Sepuh.<br /><br /><strong>Golongan Dang Acarya</strong>. Sebutan ini khusus diperuntukkan bagi para pendera Siwa dan Budha yang diangkat sebagai Dharnmaddyaksa atau hakim tinggi.<br /><br /><br /><strong>Pembagian wilayah </strong></p><p>Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam <a title="Prasasti Wingun Pitu (belum dibuat)" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Prasasti_Wingun_Pitu&action=edit&redlink=1">Prasasti Wingun Pitu</a> (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut antara lain :<br /></p><ol><li>Daha</li><li>Jagaraga</li><li>Keling</li><li>Kabalan</li><li>Kahuripan</li><li>Matahun</li><li>Kembang jenar</li><li>Tumapel</li><li>Wirabumi</li><li>Kelinggapura </li><li>Tanjungpura </li><li>Singhapura</li><li>Pajang </li><li>Wengker </li></ol><br /><p align="justify"><strong>Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawarhana<br /></strong><br />Dalam Piagam Kudadu disebutkan bagaimana watak Raden Wijaya sebagai panglima perang yang menunaikan tugas dari Raja Kertanagara. Dalam pengabdiannya ia menunjukkan kedisiplinan serta kesetian kepada perintah yang diberikan dan menunaikan tugas tiada tercela. Demikian pula terhadap teman teman seperjuangannya Raden wijaya memberikan kedudukan yang tinggi kepada para pengikutnya sesuai dengan jasa yang selama masa perjuangan. Namun rasa keadilan bagi masing – masing orang berbeda beda. Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja timbullah rentetan ketiadakpuasan diantara pengikut pengikutnya. Peristiwa penting penting tersebut sebagai berikut :<br /><br /><br /><strong>· Peristiwa Ranggalawe ( 1295 )<br /></strong><br />Ranggalawe / Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara./ Arya Adikara adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama pada tahun 1295. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Sumenep. Ia sendiri tinggal di Tanjung, yang terletak di Madura sebelah barat. </p><p align="justify">Pertemuan pertama dengan Raden Wijaya terjadi ketika Ranggalawe diutus oleh ayahnya yaitu Arya Wiraraja yang menjabat sebagai Bupati Madura untuk mengantar Tribhuwaneswari dari Sumenep ke Majapahit bersama Banyak Kapuk dan Mahesa Pawagal utusan Raden Wijaya . Ranggalawe mempunyai watak yang agak grasa grusu, bicaranya lantang namun mempunyai kelebihan dalam hal menyusun siasat perang dan dalam pertempuran ia adalah seorang pemberani dan ahli menggunakan senjata. </p><p align="justify">Namun dibalik sifatnya yang kasar, Ranggalawe adalah seseorang yang berani, jujur dan mempunyai tekat besar yaitu berani mempertaruhkan jiwanya untuk membela Raden Wijaya Ranggalawe kemudian membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik menjadi desa Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti benang, atau juga berarti kekuasaan. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut. Selain itu Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Bima sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pembantunya untuk menghadapi Jayakatwang di Kadiri. Penyerangan ke Kadiri terjadi tahun 1293, Ranggalawe berada dalam gabungan pasukan Majapahit dan Mongol yang menggempur benteng timur kota Kadiri. Pemimpin benteng bernama Sagara Winotan, mati dipenggal Ranggalawe.</p><p align="justify">Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas jasa-jasanya, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu (1294) yang memuat daftar nama para pejabat awal Majapahit, ternyata tidak mencantumkan nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja. Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun Prasasti Kudadu menyebutkan dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua orang yang berbeda. </p><p align="justify">Slamet Muljana dalam bukunya, Menuju Puncak Kemegahan (1965), mengidentifikasi nama Arya Adikara sebagai nama lain Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika diangkat sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak tersebut menjabat sebagai pasangguhan. Masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara. </p><p align="justify">Kisah pemberontakan Ranggalawe yang merupakan perang saudara pertama di Majapahit disebutkan dalam Pararaton terjadi tahun 1295, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Ranggalawe. Pemberontakan itu dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih Majapahit. Menurut Ranggalawe, jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih cakap dan berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi. </p><p align="justify">Ranggalawe juga mendapat hasutan dari tokoh licik bernama Mahapati sehingga ia nekad menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Lembu Sora, namun Lembu Sora justru tetap mendukung Nambi. </p><p align="justify">Setelah menghina dan merendahkan nama Nambi dihadapan Raden Wijaya akhirnya Ranggalawe menantang Nambi untuk mengadu senjata, mendengar tantangan tersebut Nambi menjadi marah sehingga pertengkaran mulutpun tak terhindarkan diantara kedua belah pihak. Semua menteri yang hadir termasuk Kebo Anabrang (Panglima pasukan Singhasari dalam Ekspedisi Pamalayu) tidak bisa menyembunyikan kemarahan akibat perbuatan Ranggalawe yang dianggap melanggar tata krama di hadapan Sang Prabu Kertarajasa (Raden Wijaya) dan menantang untuk mengadu senjata. </p><p align="justify">Karena tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe kemudian membuat kekacauan di halaman istana. Lembu Sora sebagai pamannya keluar menasihati Ranggalawe yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada Raja. Ranggalawe mengakui kesalahannya bahwa ia telah berbuat terlalu lancang dan sebagai hukumannnya ia minta untuk dibunuh saja. Sora tidak memenuhi permintaan keponakannya dan menasehatinya untuk mengingat segala kebaikan Prabu Kertarajasa dimana Ranggalawe diberikan kebebasan untuk keluar masuk Istana siang maupun malam. Mendengar nasehat tersebut akhirnya Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. </p><p align="justify">Mahapati kemudian ganti menghasut Nambi dengan mengatakan kalau Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan. Maka berangkatlah Nambi atas izin raja, memimpin pasukan menyerang Tuban. Dalam pasukan itu ikut serta Lembu Sora dan Kebo Anabrang. Dalam Kidung Ranggalawe diketahui bahwa Arya Wiraraja yang merupakan ayah dari Ranggalawe menetap di Tuban, ketika mendengar putranya telah pulang dari Majapahit ia langsung menemuinya. Dari tingkah laku putranya Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang tidak baik akan terjadi kepada anaknya. Arya Wiraraja kemudian menanyakan apa yang telah terjadi ketika menghadap sang Prabu. Ketika mendengar penjelasan yang disampaikan putranya, Arya Wiraraja terdiam dan hatinya makewuh mana yang harus dipilih cinta kepada anak atau setia kepada Sang Prabu. </p><p align="justify">Arya Wiraraja kemudian menasehati anaknya untuk tetap setia kepada sang prabu karena berkhianat akan mempunyai akibat yang sangat berat baik diakhirat maupun dalam kelahiran kembali. Mendengar nasehat ayahnya Ranggalawe terdiam dan mengakui kesalahannya, namun darah kesatria yang mengalir dalam dirinya mengharamkan bagi dirinya untuk mundur dan keperwirayudaan tersebut akan dipertahankan sampai mati. </p><p align="justify">Setelah Nasehatnya tidak didengar oleh putranya, Arya Wiraraja kemudian memanggil para Menteri, Kepala desa, Akuwu dan Demang untuk mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Mereka mengharapkan agar Nambilah yang nantinya memimpin pasukan dari Majapahit karena Nambilah orang yang paling mereka cari. </p><p align="justify">Para pengikut Ranggalawe didaerah Majapahit kemudian meninggalkan daerahnya menuju daerah Tuban, namun ketika mereka hendak menyeberangi sungai Tambak beras, air sungai sedang pasang sehingga mereka dapat disusul oleh pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Nambi. Mereka semua akhirnya dapat dihancurkan oleh Pasukan dari majapahit. </p><p align="justify">Hari hari berikutnya pagi pagi sekali pasukan dari Majapahit menyeberangi sungai Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Mantri Gagarangan dan Tambak Baya dari Tuban memberitahukan kepada Ranggalawe bahwa pasukan Majapahit telah tiba dan segera Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk menyerang pasukan dari majapahit. </p><p align="justify">Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera mempersiapkan pasukannya. Kidung Ranggalawe menyebutkan nama istri Ranggalawe adalah Martaraga dan Tirtawati. Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Ranggalawe kemudian mohon pamit kepada istrinya untuk menghadapi pasukan dari Majapahit. Martaraga berusaha mencegah kepergian suaminya karena mempunyai firasat bahwa sesuatu yang tidak baik akan menimpa suaminya. Oleh mertuanya sendiri yaitu Ki Ajar Pelandongan, Ranggalawe juga dibujuk agar mengurungkan niatnya untuk maju kemedan pertempuran namun sekali lagi bujukan tersebut tidak dihiraukan oleh Ranggalawe. </p><p align="justify">Ranggalawe kemudian terjun ke medan pertempuran melawan pasukan dari Majapahit, ia bertemu dengan orang yang diharap harapkan yaitu Patih Nambi. Patih Nambi mengendarai kuda Brahma Cikur sedangkan Ranggalawe mengendai kuda Mega Lamat. Pertempuran kedua orang tersebut berjalan dengan hebatnya. Akhirnya kuda Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe namun Patih Nambi berhasil mengelak dan lari menyelamatkan diri kearah selatan. Ranggalawe bersama pasukannya kemudian melakukan pengejaran sampai di sungai Tambak Beras. </p><p align="justify">Ranggalawe berniat untuk menyeberangi sungai Tambak beras namun ditahan oleh para pengikutnya karena daerah diseberang sungai adalah wilayah Majapahit, lagi pula belum semua kekuatan tentara Majapahit dikerahkan ke medan perang, Ranggalawe akhirnya menurut. Pertempuran antara pasukan Majapahit dibawah Pimpinan Nambi dengan pasukan Ranggalawe terjadi didaerah Tosan, Kidang Glatik, Siddi, Cek Muringgang dan klabang curing berakhir sampai malam hari. </p><p align="justify">Berita kekalahan pasukan dari Majapahit kemudian disampaikan Hangsa Terik ke hadapan Raden Wijaya. Betapa kecewanya Raden Wijaya mendengar kabar tersebut dan bersumpah akan membumihanguskan Kota Majapahit jika tidak berhasil mengalahkan Ranggalawe. Segera beliau mengirim Kala Angerak, Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakasa untuk memulihkan kembali kekuatan pasukan dari Majapahit yang telah tercerai berai dan menyelidiki sampai dimana kekuatan musuh. </p><p align="justify">Sementara keberangkatan 10.000 pasukan tambahan dari Majapahit telah dipersiapkan dipimpin sendiri oleh Prabu Kertarajasa, beliau mendapat laporan dari 4 orang mata mata yang dikirim ke medan pertempuran tentang kekuatan pasukan dari Ranggalawe. Akhirnya pertempuran pasukan tambahan yang dipimpin oleh Prabu kertarajasa dengan pasukan dari Ranggalawe berkobar kembali, pertempuran berjalan dengan sengit dimana korban berjatuhan diantara dikedua belah pihak. Sementara itu untuk menghindari makin banyaknya korban yang berjatuhan , Sora minta ijin kepada Prabu Kertarajasa untuk menghadapi Ranggalawe. Prabu Kertarajasa mengijinkan, akhirnya Ranggalawe dikepung dari tiga arah yaitu Kebo Anabrang dari arah timur, Gagak Sarkara dari arah barat dan Majang Mekar dari arah utara </p><p align="justify">Perkelahian sengit kemudian terjadi dari arah timur dimana kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Kuda tunggangan kebo Anabrang berhasil dilumpuhkan oleh Ranggalawe namun penunggannya berhasil menyelamatkan diri. Hari selanjutnya untuk kedua kalinya kembali Kebo Anabrang terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Pertempuran ini terjadi di seberang sungai Tambak Beras. Pertempuran berjalan dengan hebatnya dimana masing masing kedua belah pihak mengeluarkan ilmu kesaktiannya untuk melumpuhkan lawannya. Pertempuran kemudian dilanjutkan di dalam air dimana Ranggalawe berhasil mendesak kebo anabrang sampai ketengah sungai namun dengan sigap berhasil menikam kuda tunggangan Ranggalawe. </p><p align="justify">Didalam kidung Ranggalawe dikisahkan bahwa ikan ikan berlompatan dan air muncrat bagaikan hujan akibat perang tanding diantara kedua tokoh tersebut. Mereka bergulat, saling banting didalam air berusaha menenggelamkan lawannya. Sampai akhirnya Ranggalawe terpeleset dari batu tempat berpijaknya sehingga hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh Kebo Anabrang untuk menenggelamkannya di dalam air. Kepalanya terpiting dibawah ketiak Kebo Anabrang. Ranggalawe kehabisan napas dan mati lemas. </p><p align="justify">Melihat keponakannya mati ditangan Kobo Anabrang secara mengenaskan hati Sora menjadi panas sehingga dengan serta merta melompat ke dalam sungai untuk menikam Kebo Anabrang dengan keris dari belakang. Keris tersebut tembus sampai ke dada, mayat Kebo Anabrang kemudian mengapung diatas sungai. Pembunuhan terhadap rekan sepasukan inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora tahun 1300. Demikianlah akhir hidup Ranggalawe dan Kebo Anabrang yang sama sama tewas di sungai Tambak Beras. </p><p align="justify">Jenasah Ranggalawe dan Kebo Anabrang kemudian dibawa ke Majapahit untuk diupacarakan secara terhormat , mengingat jasa besar kedua tokoh tersebut. Ranggalawe adalah seorang pahlawan pemberani yang siap mengorbankan seluruh jiwa raganya pada masa awal pembentukan Majapahit, sedangkan Kebo Anabrang adalah Panglima pasukan Singhasari yang sukses menaklukkan Melayu pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara yang terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu Tahun 1275. Kisah pemberontakan Ranggalawe tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Hal itu dapat dimaklumi mengingat Nagarakretagama merupakan kitab pujian tentang kebesaran Majapahit. Ranggalawe terkenal sebagai pahlawan, sehingga diperkirakan Mpu Prapanca tidak tega mengisahkan kematiannya sebagai pemberontak. </p><p align="justify">Kiranya setelah Ranggalawe gugur tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan memutuskan untuk menghadap Prabu Kertarajasa untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menagih sang prabu semasa perjuangan, yaitu membagi wilayah kerajaan menjadi dua. Janji tersebut kemudian dipenuhi oleh Prabu kertarajasa sehingga kemudian memutuskan membagi wilayah kerajaan menjadi dua : </p><ul><li><div align="justify">Bagian Timur terus keselatan sampai pantai diserahkan kepada Arya Wiraraja kemudian menjadi raja dengan ibukota Lumajang. </div></li><li>Bagian Barat masih dikuasai oleh Raja Kertarajasa dengan Ibukota Majapahit. </li></ul><p align="justify">Sejak saat itulah Daerah Majapahit timur merupakan Negara merdeka dan lepas dari kekuasaan Majapahit. Bagi masyarakat Tuban, tokoh Ronggolawe bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan setinggi itu. Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar, Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir). </p><p align="justify">Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban, Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati, seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumi </p><p align="justify"><br /><br /><a name="Akhir_Kemerdekaan_Majapahit_Timur"></a><strong>· Peristiwa Ken Sora/ Andaka Sora<br /></strong><br />Lembu Sora atau Mpu Sora atau Ken Sora atau Andaka Sora adalah salah satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam berdirinya Kerajaan Majapahit, namun mati sebagai pemberontak pada tahun 1300. Peristiwa sejarah ini terdapat dalam Kidung Sorandaka artinya Andaka Sora atau Lembu Sora. </p><p align="justify">Pararaton menyebut Sora sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia. Ia mengawal Raden Wijaya saat menghindari kejaran pasukan Jayakatwang tahun 1292, di mana ia menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat beristirahat, serta menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa. </p><p align="justify">Pada tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di Kadiri. Dalam perang itu, Sora menggempur benteng selatan dan berhasil membunuh Patih Kadiri Kebo Mundarang.<a name="Jabatan_Sora"></a> Menurut Pararaton, setelah kemenangan tersebut, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Lembu Sora diangkat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri. Keputusan tersebut memicu pemberontakan Ranggalawe tahun 1295. Menurut Ranggalawe, Lembu Sora lebih pantas menjabat sebagai Rakryan Patih Majapahit dari pada Nambi. Meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora, namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan Nambi sebagai patih Majapahit. </p><p align="justify">Dalam peristiwe pemberontakan Ranggalawe, Sora bertindak sebagai penasehat raja, dimana Sora memberikan nasehat kepada raja agar jangan sekali kali menuruti apa kemauan Ranggalawe serta dalam pertempuran bertindak sebagai senapati yang memberikan perintah untuk mengepung Ranggalawe dari 3 arah. Siasat ini berhasil sehingga pemberontakan Ranggalawe dapat dipadamkan. Berdasarkan fakta tersebut sudah sepantasnya Sora menjadi abdi kesayangan Raden Wijaya dan menduduki posisi yang terhormat dalam masa pemerintahan Raden Wijaya. Namun dalam perjalanan hidupnya selalu ada rintangan, ada yang iri hati dengan mengungkapkan segala kekurangan yang ia miliki kehadapan sang prabu.<br /><br />Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Mahapati sebagai Menteri mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menduduki posisi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit, Pada saat itu yang menduduki posisi tersebut adalah patih Nambi, namun untuk mencari kesalahan yang mengakibatkan jatuhnya kedudukan Nambi belum berhasil. Salah seorang tokoh yang mempunyai hubungan erat dengan sang Prabu dan berpengaruh besar yaitu Sora. Andaikata Nambi jatuh maka calon utama penggantinya pastilah Lembu Sora.<br /><br />Demikianlah menurut rencananya Lembu Sora harus disingkirkan terlebih dahulu, untuk tujuan tersebut ia memperoleh tuduhan yang jitu yaitu pembunuhan Kebo Anabrang yang merupakan rekan sepasukan dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe. Sebelum menjalankan siasatnya Mahapati berusaha bersahabat dengan para Menteri lainnya sehingga ia dapat menjadi orang kepercayaan sang Prabu Kertarajasa. </p><p align="justify">Pembunuhan terhadap rekan sepasukan tersebut baru diungkit tahun 1300. Mahapati menghadap Raden Wijaya dan menceritakan bahwa para Menteri tidak puas dengan sikap sang Prabu terhadap Lembu Sora. Ketidakpuasan tersebut semakin meningkat karena seolah olah sang prabu membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Rupanya keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman karena Sora adalah abdi kesayangan Raden Wijaya. Suasana itu dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh licik yang mengincar jabatan patih. Ia menghasut putra Kebo Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut Sora. Ia juga menghasut Raden Wijaya bahwa para menteri resah karena raja seolah-olah melindungi kesalahan Sora. </p><p align="justify">Raden Wijaya tersinggung dituduh tidak adil. Ia pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk menunggu keputusan selanjutnya. Mahapati pura pura mencegah tindakan sang Prabu yang serta merta tersebut dan memberi nasehat agar sang prabu mencari kesempatan yang baik untuk menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati mengusulkan agar Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya yang sangat besar. Raden Wijaya memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang ke Tulembang. Yakinlah Mahapati bahwa sekaranglah saatnya untuk menyingkirkan Lembu Sora. </p><p align="justify">Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk menyampaikan keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat ke ibu kota meminta hukuman mati dari pada harus diusir dari tanah airnya. Mahapati kemudian menghasut Nambi bahwa sang prabu telah mengambil keputusan untuk membebaskan Sora dari Tugasnya dan menggantinya dengan Mahesa Taruna (anak dari Kebo Anabrang). Terpikat oleh uraian yang disampaikan Mahapati, Patih Nambi kemudian menyiapkan orang orangnya untuk menghadap sang Prabu. Dengan tegas dikemukakannnya bahwa Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara licik dan kejam harus mendapat hukuman yang setimpal, juga para menteri yang terkena hasutan Mahapati sepakat bahwa Lembu Sora harus mendapat hukuman akibat dari perbuatannya. </p><p align="justify">Mahapati yang pandai menjalankan peranannya sekali lagi mengunjungi kediaman Lembu sora, dikatakannya bahwa ia telah berusaha keras untuk mencegah hukuman tersebut namun tidak berhasil, lagipula Nambi telah menyiapkan pasukannya. Sementara itu telah diputuskan mengingat jasa jasanya, Lembu Sora tidak akan dijatuhi hukuman mati tetapi di hukum buang ke Tulembang. Keputusan tersebut disampaikan langsung utusan Prabu kertarajasa dari Majapahit. Sora menolak keputusan tersebut, ia lebih baik mati daripada harus dihukum buang. Raja Kertarajasa masih cukup sabar menerima keputusan Nambi tersebut dan menyesalkan konflik yang telah terjadi antara dirinya dengan Lembu Sora yang merupakan abdi kesayangannya.. </p><p align="justify">Mahapati pura pura membela Sora dan mengusulkan agar sang Prabu memberikan peringatan secara tertulis kepada Sora dan menunggu jawabannya. Segera Sang prabu mengutus Mahapati untuk menyampaikan surat tersebut langsung kepada Lembu Sora yang isinya bahwa menurut kitab Undang undang Kutaramanawa , Sora harus dihukum mati, namun dibebaskan dari hukuman tersebut dan sebagai gantinya ia akan di pindahkan ke Tulembang. Kutaramanawa yaitu kitab perundang undangan pada jaman Majapahit yang isinya menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat warna demi kebaikan masyarakat. Kitab tersebut sekarang disimpan di Leiden Belanda. </p><p align="justify">Setelah membaca surat tersebut, Lembu Sora kemudian menyampaikan jawabannya bahwa ia masih menaruh cinta bakti kepada sang prabu dan akan menyerahkan jiwa dan raganya ke hadapan sang Prabu. Ia tidak akan membantah sekalipun akan diserahkan kepada Kebo Taruna. Lembu Sora merencanakan untuk menghadap langsung ke hadapan sang prabu. Mahapati yang mengingikan kematian Lembu Sora belum puas akan penyerahan jiwa raga yang disampaikan oleh Lembu Sora melaporkan kepada sang Prabu bahwa Lembu Sora tidak menerima keputusan tersebut dan akan datang untuk membuat kekacauan karena tidak puas atas hukuman raja. </p><p align="justify">Setelah mendesak raja, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan kedua sahabatnya mati dikeroyok tentara Majapahit. Maka berhasillah siasat Mahapati. Kematian Sora pada tahun 1300 diceritakan singkat dalam Pararaton, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. </p><p align="justify">Berbeda dengan kisah dalam Kidung Sorandaka di atas, Pararaton menyebut kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada tahun 1314. Keduanya tewas sebagai pemberontak pada pemerintahan Jayanegara putra Raden Wijaya. </p><br /><p align="justify"><br /><strong>W</strong><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYhL-50f6clDZvVIBT88XZ9Fj84DBdNtJ3vMfQCVvtyTrC3IoT5gRl1I1JvStcg7p0x6Io5NLxK8G1qt28xHpl2DNP1F0ecgydj6FmJXJ-LSETPBeGRBtzyJZYbQfcHIJLKbN_kij_Nt-K/s1600-h/SITI+INGGIL.jpg"><strong><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359341779916879522" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 271px; CURSOR: hand; HEIGHT: 177px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYhL-50f6clDZvVIBT88XZ9Fj84DBdNtJ3vMfQCVvtyTrC3IoT5gRl1I1JvStcg7p0x6Io5NLxK8G1qt28xHpl2DNP1F0ecgydj6FmJXJ-LSETPBeGRBtzyJZYbQfcHIJLKbN_kij_Nt-K/s320/SITI+INGGIL.jpg" border="0" /></strong></a><strong>afatnya Raden Wijaya</strong><br /><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTbN-Q6jogvw3BsXlHD9C8lNLrnk7HIxAvdYMnsFeBpw5TVt54Z7mGWOkWg7ZKQfNtn4p33dhD_TCH3ZzYzaXqfD_xCjZaEGZy2Wuh905HdWYoe4zb8OuxweamZ2fNZ-B-mTWGlmp8h1eR/s1600-h/SITI+INGGIL3.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359687480384932850" style="FLOAT: right; MARGIN: 0px 0px 10px 10px; WIDTH: 172px; CURSOR: hand; HEIGHT: 193px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTbN-Q6jogvw3BsXlHD9C8lNLrnk7HIxAvdYMnsFeBpw5TVt54Z7mGWOkWg7ZKQfNtn4p33dhD_TCH3ZzYzaXqfD_xCjZaEGZy2Wuh905HdWYoe4zb8OuxweamZ2fNZ-B-mTWGlmp8h1eR/s320/SITI+INGGIL3.jpg" border="0" /></a>Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagara. Raden Wijaya dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura dalam <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-_nrGUG08f0nWG-OCNKt_JeoG4ID4gxlGThf9wPZEMEkV-tQqYAnntndLflVd7PXGpOSrohQkVPfMIGxsLG4LKp9x5G31h296ukI2vxbXH8DAHC1oqmpV3rcN3llG0dGsiiw6TpKA4Kyx/s1600-h/SITI+INGGIL2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5359341786769726738" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 274px; CURSOR: hand; HEIGHT: 139px" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-_nrGUG08f0nWG-OCNKt_JeoG4ID4gxlGThf9wPZEMEkV-tQqYAnntndLflVd7PXGpOSrohQkVPfMIGxsLG4LKp9x5G31h296ukI2vxbXH8DAHC1oqmpV3rcN3llG0dGsiiw6TpKA4Kyx/s320/SITI+INGGIL2.jpg" border="0" /></a>kota Majapahit dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Simping (dekat Blitar) yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. </p><p align="justify">Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanagara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan.<a name="Ekonomi"></a></p>Lanang Dawanhttp://www.blogger.com/profile/08639291633170362946noreply@blogger.com0